31 May PENGHAPUSAN MARITAL RAPE SEBAGAI SEMANGAT KEMANUSIAAN DALAM HUKUM DI INDONESIA
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan mem bentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Salah satu tujuan yang umum dari perkawinan ialah untuk membentuk atau memperoleh keluarga yang sah, baik secara hukum positif maupun hukum agama. Namun pada praktiknya, hal-hal menyimpang atau pelanggaran dalam perkawinan pun dapat terjadi. Salah satu yang paling populer ialah tetang marital rape.
Apa itu marital rape?
Secara bahasa, “marital” yakni sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, dan “rape” berarti pemerkosaan sebagaimana yang dimaksud oleh John M. Echols dan Hassan Shadily. Jadi Marital Rape bisa juga disebut dengan perkosaan dalam rumah tangga.
Perkosaan dalam rumah tangga ialah peristiwa di mana seorang suami memaksa istrinya untuk melakukan aktivitas seksual sampai menyebabkan luka fisik ataupun psikis pasangannya tersebut, ataupun sebaliknya (dilakukan oleh istri pada suami).
Populernya marital rape seiring dengan banyaknya tingkat kekerasan yang terjadi dalam perkawinan atau rumah tangga. Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2020, Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di tengah Covid-19 yang diterbitkan pada 5 Maret 2021 menyatakan, bahwa 76% dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang ada adalah Kekerasan Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal).
Lalu, bagaimana hukum di Indonesia mengatur perkosaan dalam rumah tangga?
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mengatur marital rape. Pasal yang dapat digunakan dalam kasus marital rape ialah hanya pasal mengenai penganiayaan pada umumnya, sebagaimana terdapat pada Pasal 351 dan Pasal 353 KUHP. Adapun pasal perkosaan yaitu pada Pasal 285 KUHP, berbunyi:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Â
Yang mana dalam pasal di atas tidak mengatur tentang perkosaan dalam perkawinan, melainkan perkosaan yang di luar perkawinan. Sehingga Pasal 285 KUHP di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum pada Marital Rape. Hal itu sangat disayangkan karena sempitnya makna perkosaan dalam KUHP.
Mengapa sempitnya makna perkosaan dalam KUHP disebut disayangkan?
Muatan kata “di luar perkawinan” yang ada dalam Pasal 285 KUHP tersebut ada karena anggapan bahwa perkosaan tidak mungkin terjadi dalam suatu perkawinan karena pemenuhan kebutuhan seksual adalah suatu kewajiban bagi seorang istri. Dalam buku yang ditulis oleh Simone De Beauvoir disebutkan bahwa pernikahan selalu berbeda jika dilihat dari sudut padang perempuan dan laki-laki terutama dalam hal kebutuhan, ditambah akibat dari adanya budaya patriarki yang disebut sebelumnya. Ialah bahwa kewajiban perempuan untuk patuh terhadap laki-laki terutama suaminya merupakan suatu unsur dari sistem  atau budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai superior atau berada di tingkatan teratas dari pada perempuan.
Dalam budaya patriarki, seorang perempuan memiliki posisi yang lebih inferior dibandingkan laki-laki sehingga membatasi ruang gerak dan berpikir bagi seorang perempuan. Superioritas dari laki-laki tersebut semakin kuat dalam ranah rumah tangga, di mana anggota keluarga wajib patuh terhadap laki-laki yang bertindak sebagai kepala keluarga sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tepatnya BAB IV Pasal 31 Ayat (3).
Karena adanya berbagai diskriminasi dan kekerasan yang timbul akibat nilai-nilai dari budaya patriaki tersebut, maka timbulah perlawanan dari pihak yang paling dirugikan, yaitu dari para perempuan yang gerakannya disebut sebagai gerakan emansipasi ataupun feminisme.
Maka dari itu, atas dasar bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menjadi angin segar dalam hukum di Indonesia. Karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini mengatur tentang hal tabu namun nyata adanya, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, termasuk perkosaan dalam perkawinan.
Marital Rape dalam UU Penghapusan KDRT
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan melawan hukum. Sesuai dengan tujuan dari undang-undang ini yang ingin mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera, maka UU PKDRT mengtur Marital Rape. Marital Rape dalam Undang-Undang PKDRT ini lebih jelasnya diatur dalam Pasal 5, pasal 8, dan pasal 46.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
- kekerasan fisik;
- kekerasan psikis;
- kekerasan seksual; atau
- penelantaran rumah tangga.
Pasal 5 di atas lebih jelasnya diatur dalam Pasal 8, yaitu Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
- pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
- pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Yang mana untuk pidana atas tindak pidana pasal 8 di atas diatur dalam pasal 46, yaitu:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Undang-Undang ini, terutama Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memang tidak secara gamblang menyebut perkosaan antara suami dan istri, tetapi sebab adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ingin menghapuskan segala bentuk kekerasan dan melindungi semua hak makhluk hidup terutama perempuan sebagai kelompok rentan, maka Undang-Undang ini bisa menjadi lex specialis bagi penegakan hukum di Indonesia manakala terjadi perkosaan dalam rumah tangga atau Marital Rape.
Marital Rape dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Selain itu, perkosaan dalam perkawinan juga diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (yang selanjutnya disebut RUU PKS). RUU PKS dengan tujuan menghapus segala bentuk Kekerasan Seksual di berbagai lingkup, seperti lingkup relasi personal, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya, tentu tidak terlewat juga lingkup rumah tangga dalam pasal-pasal yang diamuatnya.
Gambaran Umum Marital Rape RUU PKS
Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam bagian umum penjelasan RUU PKS, yaitu: Kekerasan Seksual merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kebanyakan Korban Kekerasan Seksual adalah perempuan dan anak perempuan sehingga Kekerasan Seksual juga merupakan kekerasan berbasis gender, yang menyasar pada manusia karena jenis kelaminnya perempuan atau mengalami diskriminasi karena relasi kuasa yang timpang. Kekerasan ini sangat berpotensi terjadi di dalam masyarakat yang memiliki struktur sosial dan budaya yang merendahkan dan memojokkan perempuan, mengabaikan anak dan tidak mengakui atau menghargai adanya kondisi khusus di dalam masyarakat. Kekerasan ini terjadi di dalam relasi yang sangat personal, di dalam lingkup keluarga atau rumah tangga, dan di wilayah publik.
Gambaran Khusus
Lebih jelasnya ialah Marital rape pada RUU PKS terlihat dari bagiamana penjelasan dari sembilan jenis kekerasan seksual dalam RUU ini tidak didefinisikan secara sempit, atau tidak terikat pada sudah/belum adanya perkawinan dalam kekerasan seksual tersebut.
Sembilan kekerasan seksual pada RUU PKS tercantum pada Pasal 11, yaitu:
- “Kekerasan seksual terdiri dari:
- Pelecehan Seksual;
- Eksploitasi Seksual;
- Pemaksaan Kontrasepsi;
- Pemaksaan Aborsi;
- Perkosaan;
- Pemaksaan Perkawinan;
- Pemaksaan Pelacuran;
- Perbudakan Seksual; dan
- Penyiksaan seksual.
Â
Ayat ke dua (2) dari pasal ini juga lebih menegaskan bahwa sembilan jenis kekerasan seksual pada ayat sebelumnya tidak bersifat kaku, mencangkup semua lingkup, termasuk lembaga perkawinan atau rumah tangga. Ayat dua (2) tersebut berbunyi:
“ Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam, dan situasi khususlainnya.”
Â
Dan sebagaimana tindak pidana yang lebih rinci, jatuhan pidana yang diatur pun lebih rinci dalam RUU PKS. Hal tersebut dapat dilihat pada Bab XIII Ketentuan Pidana(Pasal 85-145).
Penghapusan Marital Rape dalam RUU KUHP
Selain itu, semangat penghapusan marital rape juga terdapat dalam Rancangan Undang-Undang KUHP. Dari naskah akademik RUU KUHP disebutkan bahwa perkosaan dalam rumah tangga menjadi salah satu acuan dalam mengatur pidana kesusilaan.
Kesimpulan
Keabsenan pidana marital rape pada KUHP sebagai akibat budaya patriaki yang kolot tidak menghambat kemungkinan berkembangnya hukum Indonesia yang lebih progresif dan humanis. Hal tersebut terbukti pada bagaimana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT lahir mengatur perkosaan dalam rumah tangga. Namun seiring berkembangnya zaman, manusia, dan dinamika hukum yang dinamis maka datanglah RUU PKS dan RUU KUHP yang ikut dan lebih rinci membahas marital rape. Walau masih berbentuk Rancangan Undang-Undang, dan dengan segala kemandekkan pembahasan oleh DPR, RUU PKS sudah dapat terlihat sebagai bentuk semangat kemanusiaan.
Perkosaan dalam rumah tangga bukan sesuatu yang tidak mungkin, maka pengesahan RUU PKS sudah jelas urgensinya, karena segala bentuk kekerasan sudah sepatutnya kita hapus karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sepatutnya kita junjung tinggi. Karena sebaik-baiknya manusia, ialah manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya.
Oleh: Reza Juliana N.
(Peserta KKPH Kantor Hukum Sembilan Bintang & Partners)
Refferensi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekeradan Dalam Rumah Tangga;
- Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual;
- Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020. Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19.
- Second Sex, Simone De Beauvoir.