31 May PIDANA MATI MENURUT HUKUM DI INDONESIA
Sebenarnya tujuan pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan kejahatan. kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah pidana adalah dua permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati.
Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara yang terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu kejadian mengherankan jika ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama dengan permasalahan kedua komponen tersebut di atas.
Dengan adanya fakta dan data berdasarkan sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lalu dengan adanya berbagai bentuk dan kejahatan yang kejam terhadap kejahatankejahatan yang dapat merusak atau kurangkan, ternyata merupakan hampa belaka.
Sejarah hukum pidana pada masa terakhir mengungkapkan sikap dan pendapat seolah-olah kejahatan mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan atas kejahatan-kejahatan lain. Dalam itu bukan saja pada masa akhirnya, sekarang pun masih ada yang pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan. Indonesia yang berada di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari masalah pidana mati ini. Pihak pendukung dan 2 penentang pidana mati yang masing-masing cukup besar, mencoba untuk mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.
TUJUAN PEMIDANAAN
Masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di masyarakat, terutama bila kepentingan benda, hukum yang berharga bagi kehidupan masyarakat yaitu nyawa dan kebebasan atau kebebasan. Pada masa sekarang ini umum telah diterima bahwa pendapat yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa Sebagai berikut: “Pemerintah harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin jaminan pribadi manusia tidak harus sebaliknya. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, benar-benar menjatuhkan hukuman itu. Jadi, satu pihak membela dan melindunginya. pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, pemerintah negara menyerang siapapun yang ingin dilindungi dan dibela itu.
Dalam hukum pidana dikena! beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan.
Teori Absolut (pembalasan) ) kejahatan yang kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana 4 lepas. Teori pembalasan ini pada kenyataan berbeda atas perbedaan objektif yang pembalasannya kesalahan pada kesalahan pembuat karena tercela dan corak objek yang pembalasannya hanya sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang rusak. Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidaan adalah menghindarkan (prevensi). Sifat pencegahan dari pemidanaan adalah pencegahan umum dan pencegahan khusus, Menurut teori pencegahan umum, tujuan pokok pemidaan yang dapat dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai,
Sedangkan menurut T eori Prevensi Khusus , yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah kejahatan berulang lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.
Teori Gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana berdasarkan tujuan pembalasan dan mempertahankan mimpi masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
PIDANA MATI DALAM RANCANGAN KUHP
Muladi identitas yang dikutip oleh Syahrudin Husain, bahwa hukum pidana tidak boleh hanya berlaku pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), karena dengan demikian hukum pidana tidak boleh dan mengutamakan pembalasan. Pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana di dalam undang-undang. Hukum pidana juga tidak benar-benar memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht) , karena dengan penerapan hukum pidana akan berdampak merugikan dan kurang memperhatikan kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak pidana. Dengan demikian maka yang paling tepat secara integral hukum pidana harus melindungi pelbagai kepentingan di atas, sehingga hukum pidana yang dianut harus daad-daderstafrecht.Gambaran tentang penerapan teori integratif dalam pemidanaan nampak dari pemahaman Tim Perancang KUHP Nasional dalam merumuskan pidana mati dalam konsep KUHP baru.
Dari pengalaman empiris sampai saat ini terbukti bahwa, Indonesia termasuk kelompok retensionis terhadap pidana mati, de jure dan de facto . masalah adalah bagaimana caranya menjaga keseimbangan perasaan antara kaum retensionis dan kaum abolisionis di kalangan masyarakat yang masing-masing jumlahnya sangat banyak. Sehubungan dengan di atas, konsep rancangan KUHP mengeluar-kan pidana dari pidana pokok dan bidangnya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional (istimewa).
Penempatan pidana memandang dari paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan tentang retensionis dan abolisionis. Sedangkan tindak pidana berencana ditiadakan. Menurut penjelasan konsep Rancangan KUHP 1991/1992 hal ini memberikan kebebasan kepada hakim dalam rangka mempertimbangkan ada tidaknya rencana yang sulit dibuktikan. Dengan hakim akan mengutamakan untuk mempertimbangkan motif, cara, upaya atau upaya membunuh dan akibat dari pembunuhan bagi masyarakat.
PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada empat kasus.
Pertama , pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Hukuman rajam ini semua ulama menyukai dengan banyak hadits yang digunakan itu, namun yang membedakannya adalah apakah sebelum dirajam itu didera atau tidak.
Menurut jumhur ulama, orang yang harus di hukum rajam itu tidak didera. Sedang menurut al Hasan al Bashri, Ishaq, Ahmad dan Dawud, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain, maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. secara naluriah manusia akan melakukan apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat dicapai.
Kedua,pelaku pembunuhan berencana (disengaja), yang termaktub dalam Surat An-Nisa ‘: 93. Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqishas (peningkatan juga). Jika ahli-ahli waris (yang meninggal) memaafkannya, maka pelaku diqi tetapi tidak membunuh) harus membayar diyat (denda) yang besar, untuk memberikan bantuan kepada 100 orang yang memutuskan waktu itu juga. Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilakukan seseorang yang telah melakukan pembunuhan terhadap. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang rela memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar diyat. Diyat adalah hakim denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim,
Ketiga , Al Hirabah (perampokan atau pengacau keamanan). Hukuman bagi jarimah ini ditegaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Maidah: 33.
Keempat, Riddah (Murtad).
PIDANA MATI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan sanksi atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Itu kejahatan dengan kejahatan yang berat adalah:
- Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden);
- Pasal 111 Ayat (2) (membujuk negara untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu ditakukan atau jadi perang);
- Pasal 124 Ayat (3) (membantu musuh waktu perang);
- Pasal 140 Ayat (3) (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut);
- Pasal 340 (pembunuhan berencana);
- Pasal 365 Ayat (4) (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati);
- Pasal 368 Ayat (2) (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati); dan
- Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
BEBERAPA PANDANGAN TENTANG PIDANA MATI
Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan yang dikemukakan untuk mendukung dan kejahatan mati.
Di Indonesia yang sesuai KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918, dalam pasal 10 masih pidana pidana dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tidak diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia yang menuntut penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati.
De Bussy menyatakan bahwa adanya pidana di Indonesia dengan mengatakan bahwa Indonesia ada suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan yang sangat terhadap hukum di Indonesia adalah lebih besar.
Jonkers dengan alasan yang diakui bahwa ada perlawanan terhadap pidana mati yang sering terjadi itu tak dapat ditarik kembali, jika sudah dilaksanakan dan dapat diambil kembali dalam putusan hakim, lalu tak pemulihan hak yang sesungguhnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi.
Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang setiap masa revolusioner kita dapat menggunakannya. Bichon van Tselmonde menyatakan: saya masih selaiu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Pedang pidana seperti juga pedang harus ada pada negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tapi harus dipertahankan dan juga digunakannya.
Lombrosso dan Garofalo juga termasuk yang mendukung pidana mati. Mereka berpendapat bahwa pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tak mungkin dapat mendukung lagi.
Para sarjana hukum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati. Diantaranya adalah Bismar Siregar yang menghendaki mempertahankannya pidana mati dengan tujuan untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih tersedia. Karena beliau menilai jika seseorang bermasalah sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan , pidana apa lagi yang harus dijatuhkan jika bukan pidana mati.
Sedangkan Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati.
Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu pertahanan sosial. Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan gangguani masalah serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama.
Dari uraian di atas dapat penulis tarik kesimpulan, bahwa:
- Dunia internasional juga menunjukkan perhatian terhadap ancaman pidana mati ini. Pada tahun 1987 di Syracuse, Italia telah dilakukan suatu Konferensi Internasional tentang pidana mati. Dalam konferensi tersebut antara lain dibahas tentang pelbagai pengaturan pidana mati diperlbagai negara di dunia. Gambaran tentang hal ini adalah sebagai berikut:
- Negara yang sama sekali pidanakan;
- Negara yang mengancamkan pidana mati hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu dalam keadaan di bawah hukum militer atau karena kondisi negara);
- Negara yang termasuk kelompok abolisionis defacto;
- Negara yang termasuk kelompok tensionis termasuk Indonesia.
- Masalah pidana mati , adalah merupakan realitas, termasuk yang keberadaannya tidak terlepas dari nilai-nilai sosial masing-masing bangsa dan dari sejarah bangsa tersebut.
Penulis memiliki saran , bahwa pertama, pada saat sekarang ini negara kita masih perlu ancaman pidana yang keras untuk mengawal dalam proses pembangunan negara, maka pidana mati masih perlu dipertahankan eksisitensinya dalam pengaturan sanksi pidana di Indonesia, Agar pelaksanaan hukuman mati harus hati-hati dan secara selektif diperuntukkan terhadap kejahatan-kejahatan yang berat, dan kejahatan yang berbahaya keamanan negara.
Kedua, Sanksi pidana mati sebagai sanksi pidana yang keras dan kejam, sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip subsidieritas, digunakan sebagai sarana ultimum remidium (obat terakhir), penerapannya bersifat eksepsional, dengan memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian, mengingat sifat pidana mati sebagai sanksi pidana non evaluatif.
Oleh: Al Sayeed
Peserta KKPH Sembilan Bintang & Rekan 2021
Referensi:
- Alquran;
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Faisal. Sistem Pidana Mati Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam . Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam;
- Tangkau. Hans (2008). Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia.