07 Jun Pelanggaran Hukum Internasional Lewat Perairan Natuna
Pulau Natuna merupakan Pulau yang berada di Provinsi Kepulauan Riau dan berada dekat dengan Laut China Selatan. Natuna terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai. Pada 1957, Kepulauan Natuna masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun pada abad ke-19, Kepulauan Natuna akhirnya masuk ke dalam kepenguasaan Kedaulatan Riau dan menjadi wilayah dari Kesultanan Riau. Natuna sampai saat ini masih menjadi jalur strategis dari pelayaran internasional. Setelah Indonesia merdeka, delegasi yang berasal dari Riau menyerahkan kedaulatannya pada Republik Indonesia yang saat itu berpusat di Pulau Jawa.
Tepat pada 18 Mei 1956 pemerintah Indonesia mendaftarkan  Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke PBB.
Natuna merupakan kawasan dengan sumber daya alam yang melimpah serta berbatasan langsung dengan laut bebas sehingga hal ini menjadikan Natuna sebagai incaran negara tetangga. Sebagai negara tetangga Malaysia menyatakan bahwa Natuna secara sah seharusnya milik Malaysia namun, pada era konfrontasi 1962-1966 Malaysia tidak menggugat Natuna.
Selepas itu, pembangunan mulai gencar dilakukan di kepulauan Natuna yang memiliki luas 3.420 kilometer persegi. Pulau Natuna didominasi oleh penduduk Etnis Melayu dengan presentase 85 persen, disusul Suku Jawa 6,34 persen dan Etnis Tionghoa sekitar 2,52 persen.
Namun, setelah selesainya klaim Natuna oleh Malaysia dilanjutkan oleh klaim China terhadap Perairan Natuna pasalnya China masih berusaha masuk dalam wilayah 9 garis putus-putus (nine dash line) sejak 19 Desember 2019 hingga beberapa bulan terakhir. Banyak upaya yang dilakukan oleh pihak China untuk menguasai perairan tersebut salah satunya ialah mengiringi kapal nelayan penangkap ikan, cross guard China mengancam akan menabrak kapal Indonesia yang menangkap ikan di sana apabila berpapasan.
Menurut Hukum Internasional, apabila perbuatan penabrakan itu terjadi maka China telah melakukan pelanggaran Hukum Internasional. Hukum Internasional yang dilanggar antara lain :
- International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLGRES) 1972 tentang Peraturan Internasional untuk Mencegah Tabrakan di Laut;
- International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974 tentang Konvensi Internasional untuk Keselamatan Kehidupan di Laut Perairan Natuna hanya boleh dilintasi oleh Indonesia hal ini sesuai tertuang dalam hukum internasional yaitu United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
Indonesia tidak mengakui konsep 9 garis putus-putus yang dinyatakan China. Hal ini dikarena Indonesia bertumpu pada dua hukum yaitu :
- UNCLOS 1982 atau konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
UNCLOS mengakhiri prinsip Freedom of the Sea atau Asas Kebebasan Laut yang berawal dari abad 17. Asas Kebebasan Laut pada dasarnya menyatakan bahwa laut itu bebas untuk siapapun dan tidak ada yang memiliki. Namun, asas itu membatasi hak nasional terhadap lautan, juga memicu perang di lautan. Maka asas kebebasan laut dikritisi bersama serangkaian forum UNCLOS sejak tahun 1956. Kemudian UNCLOS ditandatangani oleh 117 negara di Montego Bay Jamaika pada tahun 1982.
Dalam UNCLOS 1982 disebutkan beberapa wilayah perairan yang dimiliki oleh setiap negara pantai, termasuk Indonesia. Wilayah perairan tersebut meliputi Perairan Pedalaman, Laut Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas Kontinen (LK), dan Laut Lepas. ZEE adalah salah satu aspek revolusioner dari Konvensi ini. Kapal China yang memasuki wilayah Indonesia juga diklaim melintasi ZEE Indonesia di Perairan Natuna.
Â
- Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan 2016
Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) tentang Laut China Selatan tahun 2016 digelar di The Hague, Belanda. Pengadilan itu digelar oleh Pengadilan Arbitrase Permanen, didirikan pada 1899 untuk memfasilitasi arbitrase dan bentuk pemecahan masalah sengketa yang lainnya untuk dihadapi oleh negara manapun.
Putusan Pengadilan Arbitrase Internasional tentang Laut China Selatan tahun 2016 itu adalah tentang sengketa China vs Filipina. Dilansir CNN, putusan diketuk di The Hague pada 12 Juli 2016, berdasarkan UNCLOS 1982.
Filipina tidak terima teritorialnya diklaim China, sedangkan China sendiri merasa berhak karena punya dasar kesejarahan (historis) bahwa Laut China Selatan adalah miliknya. China berpegang pada 9 Garis Putus-putus yang dibuat sejak 1947. Isi putusannya yakni China tidak punya dasar yang sah untuk mengklaim hak historis atas sebagian besar Laut China Selatan.
Pengadilan internasional itu juga menyatakan China telah melanggar hukum internasional dengan melakukan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap lingkungan laut, juga mengancam kapal-kapal Filipina, dan mengintervensi pencarian ikan dan eksplorasi minyak.
Putusan itu menjadi dasar rujukan Indonesia untuk mempertahankan Laut Natuna. Berdasar putusan itu, Indonesia menyatakan 9 Garis Putus-putus milik China tidak sah. Menurut Indonesia, PCA sebagai penyelenggara peradilan itu punya legitimasi hukum.
Keberadaan Natuna dilihat dari hukum berada pada Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut, dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak diluar teritorial. Teritorial yang dimaksud adalah sepanjang 200 mil laut dari gasris pangkal Landas Kontinen Negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas yang sudah diatur.
Berangkat dari hal tersebut pemerintah Indonesia tetap melakukan beberapa upaya diplomatik dengan China, agar sengketa Laut China Selatan tidak meluas sampai ke Natuna. Kedua belah pihak sudah sepakat mengedepankan diplomasi dengan mengimplementasikan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC). Selain itu, Indonesia sudah mengusulkan Zero Draft Code of Conduct South China Sea yang bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia.
Tiga poin, yaitu :
- Menciptakan rasa saling percaya
- Mencegah terjadinya insiden
- Mengelola insiden jika memang insiden terjadi dan tidak dapat dihindari.
Selain menjalankan upaya tersebut, Indonesia dibantu bersama ASEAN berusaha menyelesaikan masalah Laut China Selatan dengan terciptanya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada tahun 2002. ASEAN mengupayakan perubahan DOC menjadi Code of Conduct (COC) sehingga kesepakatan perjanjian konstruktif terkait sengketa wilayah tersebut bisa mengikat masing-masing pihak. ASEAN memaksimalkan fungsi mekanisme kerja lembaga internalnya yang telah disepakati khususnya dibidang maritim dan implementasi di lapangan. ASEAN memperkuat upaya kerjasama bilateral secara berkelanjutan untuk tujuan pemanfatan bersama dalam potensi sumber daya alam di wilayah sengketa baik antara sesama anggota ASEAN maupun yang sedang bersengketa.
Oleh : Meli Andriani (Peserta KKPH Kantor Hukum Sembilan Bintang & Partners)
Refferensi:
- Undang-undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut);
- Undang-undang No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan;
- https://news.detik.com/berita/d-4845841/indonesia-vs-china-rebutan-natuna-2-hal-ini-jadi-dasar-hukumnya/3;
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20200914093939-4-186529/heboh-china-kembali-klaim-natuna-ri-ini-fakta-faktanya;
- https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/180000169/sejarah-konflik-natuna-dan-upaya-indonesia?page=all;
- https://www.liputan6.com/news/read/4150081/bakamla-sebut-ada-sejumlah-kapal-china-yang-menuju-natuna;
- https://nasional.kontan.co.id/news/cerita-panjang-konflik-china-indonesia-di-laut-natuna?page=all
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4150418/klaim-wilayah-natuna-china-permalukan-diri-sendiri.