Sembilan Bintang & Partners | ANCAMAN PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP KEKERASAN YANG TERJADI DALAM MASYARAKAT
1106
post-template-default,single,single-post,postid-1106,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

ANCAMAN PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP KEKERASAN YANG TERJADI DALAM MASYARAKAT

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menjelaskan:

  1. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun social.”;
  2. Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.”

 

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu Sumber Daya Manusia (SDM) yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.

 

Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak dasar manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yan harus dihapuskan. Oleh karena itu korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan korbannya merupakan perempuan dan anak, yang harus mendapatkan perlindungan dari negara ataupun masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Tetapi pada kenyataan yang terjadi dalam masyarakat masih banyak timbul kekerasan, terutama yang mengorbankan anak di bawah umur.

 

Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.

 

Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sayangnya masih banyak orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orang tua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum. Hal ini masih merupakan salah satu dari faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, dari banyaknya faktor-faktor lainnya.

 

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak-anak atau kekuasaan.

 

Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan. Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.

 

Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

 

Dampak Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori.

  • Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis;
  • Ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri;
  • Ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain; dan
  • Ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri.

 

 

Selain itu, Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.

 

Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.

 

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse), antara lain:

  1. Dampak Kekerasan Fisik yaitu anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia;

 

  1. Dampak Kekerasan Psikis, Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri;

 

  1. Dampak Kekerasan Seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

 

  1. Dampak Penelantaran Anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

 

 

Akibat dari dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse) inilah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia memiliki peranan dalam upaya pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan yang terjadi terhadap anak. Hal ini dijelaskan pada Pasal 74 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan:

β€œDalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.”

 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas (Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak):

  1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
  2. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

 

Dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menjelaskan :

  1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah);
  2. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).;
  3. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);
  4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

 

Perlindungan terhadap anak merupakan bagian dari tugas dari kita bersama. Hal ini karena kesejahteraan anak merupakan salah satu bagian dari perlindungan terhadap anak di mana masalah ini juga mendapat perhatian dari pemerintah dan secara yuridis normatif telah dibuat peraturan perundang-undangan tersendiri, yang secara tegas diatur mengenai hak anak dan usaha kesejahteraan anak, dan dalam hal ini pemerintah juga berupaya untuk mensejahterakan anak

 

Oleh : Alexandre Victor Da Silva (Peserta KKPH Kantor Hukum Sembilan Bintang & Partners)

 

Refferensi:

  1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  2. Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Prof. Mohammad Taufik Makarao, SH. MH., Letkol Sus, Drs. Weny Bukamo, Ir Syaiful Azri, SH. MH.)
  3. http://www.duniapsikologi.com/kekerasan-terhadap-anak/
  4. http://www.duniapsikologi.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/

 

 

 

 

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.