14 Jun Pre Project Selling Berpotensi Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi Hingga Kejahatan Korporasi
Anda pernah dibagikan sebuah brosur, ditawari untuk membeli sebuah rumah yang di mana rumah tersebut akan dibangun dengan model tertentu dan dengan menggunakan bahan-bahan tertentu sebagaimana yang tertera dalam brosur? Thats! Dalam dunia properti perumahan, hal tersebut dinamakan Pre Project Selling.
Dewasa ini Pre Project Selling menjadi trend yang dilakukan oleh para pengembang perumahan untuk menarik minat konsumen dalam membeli rumah, karena sistem Pre Project Selling memiliki keuntungan bagi pengembang yaitu dianggap sebagai alternatif penambahan biaya pembangunan. Jika konsumen sepakat untuk membeli rumah tersebut, maka konsumen diharuskan membayar Down Payment (DP) atau uang muka, atau konsumen membayar secara lunas (Cash).
Sistem Pre Project Selling sudah digunakan 1967-an, tepatnya di negara Perancis. Di Indonesia, sistem Pre Project Selling lahir dari adanya kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Menurut Prof. DR. Y. Sogar Simamora, SH., M.HUM., Pre Project Selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun, di mana properti yang dijual tersebut baru berupa gambar atau konsep.
Yang dijadikan dasar oleh para pengembang untuk melakukan Pre Project Selling adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yaitu dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah, menyatakan bahwa rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum ditandatangani Akta Jual Beli.
Dalam perjanjian tersebut terdapat klausul hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan baik oleh konsumen maupun pengembang, hingga jangka waktu dari pemenuhan klausul tersebut ditentukan dalam PPJB.
Ada hal penting yang harus diperhatikan, yaitu Pre Project Selling bisa dilakukan apabila setidaknya 5 syarat telah dipenuhi, yaitu:
- Kepastian peruntukan ruang;
- Kepastian hak atas tanah;
- Kepastian pengunaan rumah susun;
- Perizinan pembangunan rumah susun; dan
- Jaminan dari lembaga penjamin
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bahwa:
Ayat (1)
“Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.”
Ayat (2)
“Perjanjian Pendahuluan Jual Beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
- status pemilikan tanah;
- hal yang diperjanjikan;
- kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
- ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
- keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).”
Banyaknya oknum pengembang menggunakan sistem Pre Project Selling sebagai cara untuk menarik minat konsumen dalam membeli rumah, padahal, sistem Pre Project Selling dapat berpotensi menjadi Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi hingga Kejahatan Korporasi.
Mengapa Begitu?
Â
Dalam praktiknya sering ditemukan bahwa oknum pengembang masih tidak memperhatikan persyaratan yang tertuang dalam undang-undang bahkan tidak melaksanakannnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya konsistensi dari penembang untuk melaksanakan persyaratan tersebut.
Yang pada faktanya di lapangan, banyak sekali oknum pengembang yang melakukan Pre Project Selling sebelum dilengkapi persyaratan antara lain Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Konstruksi dan izin-izin lainnya.
Studi kasus:
- Ada oknum pengembang yang memasarkan dengan Pre Project Selling, kemudian konsumen tertarik dan membelinya, konsumen telah menyanggupi dan melakukan pembayaran, namun ketika konsumen akan menempati rumah tersebut ternyata rumah yang dijanjikan tidak dibangun;
- Rumah yang dibeli oleh konsumen dari pihak pengembang tidak bisa digunakan selayaknya, karena bangunan rumah mengalami kecacatan, misal pada atap, lantai atau pada konstruksi utama lainnya, berlainan dengan yang tertera dalam brosur penjualan;
- Konsumen membeli rumah, namun ternyata setelah rumah tersebut dibangun, rumah tersebut belum memiliki IMB;
- Konsumen membeli rumah kepada pengembang secara cash, setelah bertahun-tahun ditempati, konsumen belum juga memiliki Akta Jual Beli (AJB) atau Sertifikat Hak Milik yang menjadi hak konsumen dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang sebagaimana yang tercantum dalam PPJB, kemudian diketahui bahwa legalitas tersebut dijadikan agunan oleh oknum pengembang tanpa izin untuk memutar keuangan perusahaan.
Inilah yang menjadi pemicu Pre Project Selling sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun melalui PPJB berpotensi menjadi Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi hingga Kejahatan Korporasi.
Perbuatan Melawan Hukum
Penjelasan mengenai Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Hukum Perdata (Onrechmatigedaad) diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW. Pasal tersebut menyebutkan:
 “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Unsur-unsurnya adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya sebab akibat antara kerugian dan perbuatan, dan adanya kerugian. Menurut Salim HS., Perbuatan melawan hukum yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata (BW) hanya mengatur bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikan, dan ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan bukan karena adanya perjanjian.
Kemudian, Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Hukum Pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika merujuk pada Postulat: contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit, yang berarti bahwa seseorang dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum. Lalu menurut Simons, bahwa hanya ada satu pandangan yang dapat diterima mengenai adanya melawan hukum bahwa ada kelakuan yang bertentangan dengan hukum. Jika kita menelaah pasal-pasal dalam KUHP, maka akan kita temui kata-kata melawan hukum (wederrechtelijke) yang menunjukkan sah suatu tindakan atau suatu maksud.
Wanprestasi
Perbuatan Wanprestasi Menurut Abdul R Saliman adalah suatu sikap di mana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam perjanjian yang telah disepakati antara kreditur dan debitur.
Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Sehingga unsur-unsur wanprestasi adalah:
- Ada perjanjian oleh para pihak;
- Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah disepakati;
- Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjanjian.
Kejahatan Korporasi
Metode pemasaran project selling secara tidak langsung merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan properti, di mana perusahaan tersebut belum memenuhi kepatutan – kepatutan hukum yang harusnya di penuhi terlebih dahulu. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat digolongkan sebagai suatu Kejahatan Korporasi.
“A corporate crime is any act committed by corporations that is punished under administrative, civil, or criminal law.” – Clinard dan Yeager
Braithwaite menyatakan bahwa Kejahatan Korporasi adalah perbuatan dari suatu korporasi, atau pegawainya yang bertindak untuk korporasi, di mana perbuatan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.
Dr. Hasbullah F. Sjawie SH, LL.M., MM, menjelaskan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar korporasi dapat diminta pertanggungjawabannya secara pidana yakni:
- Actus Reus, artinya perbuatan harus dilakukan didalam lingkup kekuasaannya. Artinya, perbuatannya dalam menjalankan itu masih dalam tugas korporasi;
- Perbuatan itu dilakukan dengan sengaja (mens rea);
- Perbuatan itu dilakuan oleh pelaku yang cakap jiwa atau mentalnya.
Sedangkan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi, antara lain:
- Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
- Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana;Â atau
- Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Jika ditelaah studi kasus di atas, maka studi kasus pertama dan kedua dapat memenuhi unsur Perbuatan Melawan Hukum baik secara pidana maupun perdata, karena pada kasus pertama konsumen telah menyerahkan uang sebagai transaksi jual-beli kepada oknum pengembang, namun rumah tersebut tidak ada (tidak dibangun). Dan pada kasus kedua di mana rumah yang dibangun untuk konsumen memiliki cacat, sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, dan tidak sesuai yang tertera pada brosur penjualan. Berdasarkan Hukum Pidana, ini memenuhi unsur Pasal 372 dan Pasal 378 KUHP, dan berdasarkan Hukum Perdata kasus pertama ini memenuhi unsur Pasal 1365 KUHPerdata karena menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Sedangkan studi kasus ketiga dan keempat dinilai dapat memenuhi unsur wanprestasi dan kejahatan korporasi karena pegawai atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi mengagunkan sertifikat milik konsumen tanpa seizin konsumen, hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana penggelapan yang dilakukan pegawai korporasi untuk dan atas nama koporasi, serta legalitas sebagaimana yang tertuang dalam PPJB yang disepakati oleh konsumen dan pengembang, tidak dipenuhi oleh oknum pengembang baik IMB, AJB maupun sertifikat, maka oknum pengembang tersebut telah melakukan wanprestasi atas PPJB tersebut.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf (f) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Kemudian berdasarkan Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, oknum pengembang tersebut dapat dikenai pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda sebesar Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Menghindari terjadinya Pre Project Selling menjadi Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi, atau Kejahatan Korporasi, maka harus adanya ketelitian dari calon konsumen sebelum membeli unit rumah untuk mencari tahu mengenai perusahaan dan/atau perumahan yang akan dibeli, atau sikap aktif konsumen untuk terus meminta haknya kepada pihak pengembang, selain itu peran dari pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk mengawasi sistem Pre Project Selling ini dilaksanakan.
Oleh: Nia Juniawati, S.H.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah;
- Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi.