Sembilan Bintang & Partners | KENAPA MAMA SARAH DITANGKAP POLISI?, YANG BUNUH ROY KAN ELSA! (Menelaah Prosedur Penangkapan Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Hukum)
1153
post-template-default,single,single-post,postid-1153,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

KENAPA MAMA SARAH DITANGKAP POLISI?, YANG BUNUH ROY KAN ELSA! (Menelaah Prosedur Penangkapan Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Hukum)

Rekan keadilan, greget banget gak sih lihat sinetron Ikatan Cinta?? Kok jadi Mama Sarah yang ditangkap Polisi. Jelas-jelas yang udah bunuh Roy itu Elsa. Gggggrrrrr ….

Belakangan ini Mas Al dan Andin berusaha untuk mengumpulkan satu-persatu bukti tentang misteri kematian Roy (Adiknya Mas Al), untuk mengetahui siapakah pelaku pembunuhan Roy yang sebenarnya, dan seluruh bukti yang didapat oleh Mas Al dan Andin mengarah pada Elsa. Mas Al dan Andin pun mendatangi Polsek Praja Lima untuk membuat Laporan Kepolisian agar bisa menangkap Elsa. Kemudian Pak Polisi datang ke rumah Nino yang mana pada saat itu sedang berkumpul (Antara keluarga Andin dan keluarga Nino), untuk menangkap Elsa berdasarkan Laporan Kepolisian dari Mas Al dan Andin. Tapi kenapa jadi Mama Sarah yang ditangkap?!! Hey? Sebentar-sebentar, ini gimana sih???

 

Memang seperti apa si penangkapan pelaku tindak pidana berdasarkan Hukum? dan apakah sah penangkapan Mama Sarah tersebut???

 

Definisi Penangkapan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

 

Mengutip keterangan Ahli Hukum, Yahya Harahap, dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan” yang mengacu pada Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa penangkapan dapat dilakukan dengan setidaknya terdapat 2 syarat yang telah dipenuhi, yaitu:

  1. Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;
  2. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

 

Seseorang yang diduga melakukan tindak pidana ini dalam proses penegakkan hukum yang belum menginjak ke tahap persidangan di Pengadilan disebut sebagai Tersangka. Berdasarkan definisi pada Pasal 1 Angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari manakah kita bisa tahu bahwa seorang tersebut diduga keras melakukan tindak pidana, yaitu dengan penetapan Tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti, serta setelah melalui mekanisme gelar perkara yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Peraturan Kapolri No. 6/2019).

 

Di sisi lain, dalam hukum diakui asas yang berbunyi Presumption of Innocence atau yang biasa disebut sebagai Asas Praduga Tak Bersalah, yang maksudnya adalah seorang yang diduga melakukan tindak pidana dan sedang diproses secara hukum dianggap tidak bersalah sampai adanya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa seorang tersebut bersalah. Adanya asas ini adalah untuk menjaga hak-hak Tersangka sebagai manusia tetap diberikan selama menjalani proses penegakkan hukum.

Asas Praduga Tak Bersalah diatur dalam dalam KUHAP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada Putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

 

Penangkapan dilakukan oleh petugas Polri yang diberikan Surat Tugas untuk melakukan penangkapan. Petugas Polri tersebut berdasarkan Pasal 16 KUHAP, yaitu Penyelidik, Penyidik atau Penyidik Pembantu.

Dalam Pasal 16 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, penangkapan termasuk ke dalam upaya paksa setelah pemanggilan. Namun dalam praktiknya, bisa dilakukan penangkapan langsung tanpa melakukan pemanggilan terlebih dahulu. Seseorang yang dilaporkan ke Polisi kemudian langsung ditangkap tanpa dipanggil terlebih dahulu, berarti Penyidik sudah menemukan bukti permulaan yang cukup, tentunya setelah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi. Dan sebaliknya, jika seseorang yang dilaporkan Polisi itu tidak langsung ditangkap melainkan dilakukan pemanggilan terlebih dahulu, berarti Penyidik belum menemukan bukti permulaan yang cukup atas peristiwa tindak pidana yang dilaporkan. Karena pengkapan hanya dilakukan dengan dasar bukti permulaan yang cukup.

 

Kemudian berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) KUHAP, dalam pelaksanaan tugas penangkapan yang dilakukan oleh petugas Polri, petugas Polri tersebut selain memperlihatkan Surat Tugas, juga memberikan kepada Tersangka berupa Surat Perintah Penangkapan yang di dalamnya mencantumkan identitas Tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat tersangka tersebut diperiksa. Namun penangkapan bisa dilakukan oleh petugas Polri tanpa Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan apabila Tersangka tersebut tertangkap tangan (tertangkap pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan). Dalam hal tangkap tangan tidak diperlukan gelar perkara untuk menentukan Tersangka.

 

Berdasarkan Pasal 15 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan:

Tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan dalam pelaksanaan tugas kepolisian dengan alasan sebagai berikut:

  1. terdapat dugaan kuat bahwa seseorang telah melakukan kejahatan;
  2. untuk mencegah seseorang melakukan kejahatan; dan
  3. untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.

 

Selain untuk mencegah agar tidak melakukan (kembali) kejahatan dan menjaga ketertiban di masyarakat, berdasarkan Pasal 29 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, disebutkan bahwa apabila Tersangka tidak ditahan dan dikhawatirkan melarikan diri atau tidak kooperatif, untuk kepentingan penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum dapat dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap Tersangka.

 

Mengacu pada Pasal 17 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang  Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan kewajiban yang dilakukan oleh petugas Polri dalam melakukan penangkapan:

Dalam melakukan penangkapan setiap petugas wajib untuk:

  1. memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri;
  2. menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan;
  3. memberitahukan alasan penangkapan;
  4. menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan;
  5. menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan;
  6. senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan
  7. memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.

 

Dari hal-hal yang sudah diuraikan oleh Penulis di atas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa dalam proses penangkapan tersangka tindak pidana yang terjadi dalam Sinetron Ikatan Cinta (yaitu Mama Sarah ditangkap oleh Polisi demi melindungi Elsa) secara hukum tidak sah dalam realita atau apabila dilakukan di dunia nyata. Karena penangkapan dilakukan apabila setelah penetapan tersangka dengan adanya 2 (dua) bukti permulaan yang kuat dan gelar perkara yang dilakukan pihak kepolisian. Selain itu dalam KUHAP maupun Peraturan Kapolri yang sudah dijabarkan di atas, penangkapan dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penangkapan yang di dalamnya tertera identitas Tersangka yang akan ditangkap. Petugas Polri bertanggung jawab atas Surat Perintah Penangkapan tersebut. Dalam pelaksanaan penangkapan, Polri wajib melaksanakan apa yang telah diatur dalam KUHAP dan Peraturan Kapolri terkait, karena apabila Polri menyalahi aturan-aturan tersebut dalam pelaksanaan penangkapan, maka dapat diajukan Praperadilan ke Pengadilan.

 

Jadi, jelas ya Rekan Keadilan, dalam pelaksanaan penangkapan pelaku tindak pidana tidak boleh asal dan sewenang-wenang. Seyogyanya dalam sinetron, Mama Sarah tidak langsung ditangkap melainkan harus dilakukan dahulu serangkaian proses penetapan tersangka, serta tidak adanya bukti permulaan yang kuat.

 

Oleh: Nia Juniawati, S.H.

Dasar Hukum dan Refferensi:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
  4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  5. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana;
  6. Buku “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan” karangan Yahya Harahap;
  7. Tribrata News: Portal Berita Resmi Polda Riau.

 

 

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.