Sembilan Bintang & Partners | Mengenal Istilah Ultimum Remidium & Premium Remidium Dalam Hukum Pidana
1231
post-template-default,single,single-post,postid-1231,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

Mengenal Istilah Ultimum Remidium & Premium Remidium Dalam Hukum Pidana

Hukum Pidana menurut Prof. Moeljatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di seluruh negara, dengan mengadakan dasar-dasar aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

Yang membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain adalah adanya sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman penderitaan/Nestapa terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang baik yang menimbulkan korban (with victim) maupun maupun yang tidak menimbulkan korban (without victim) guna memperbaiki tingkah laku manusia terutama pelaku kejahatan (penjahat), Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjabarkan macam-macam pemberian sanksi pidana di Indonesia yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan, dan pidana tambahan.

 

Sistem Hukum Pidana di Indonesia mengenal asas Ultimum Remedium dan Primum Remedium dalam kaitannya dengan pemberian sanksi pidana. Lalu apa sebenarnya arti dari kedua asas tersebut?

Primum Remedium dalam kasus hukum pidana dapat dikatakan sebagai satu-satunya hal yang dapat dilakukan kecuali dengan menerapkan hukum pidana tersebut, tidak ada alternatif lain sebagai dasar atau fondasi untuk menegakkan suatu hukum. Contoh dari Primum Remedium ini adalah ketika terdapat seseorang yang melakukan tindak pidana terorisme, maka berdasarkan asas Primum Remedium tidak ada alternatif lain seperti sanksi administratif maupun sanksi perdata melainkan akan diberikan hukuman pidana secara langsung sesuai dengan Undang-Undang tentang Terorisme.

Selain dari Undang – Undang mengenai terorisme, ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai Primum Remedium ini dapat pula dilihat dalam Undang-Undang mengenai tindak pidana korupsi, Undang-Undang tentang pengedaran obat – obatan terlarang dan beberapa Undang-Undang lainnya yang mengatur tentang tindakan kejahatan yang memiliki dampak besar bagi kepentingan publik sehingga dalam hal pemberian sanksi atau hukuman tidak perlu lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain selain sanksi pidana.

 

Ultimum Remedium merupakan kebalikan dari Primum Remedium, menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Penemuan Hukum Sebuah Pengantar”, Ultimum Remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia, yang mengatakan hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan dianggap masih terdapat suatu alternatif penyelesaian lain selain menerapkan suatu aturan hukum pidana. Contohnya adalah ketika seseorang mengalami permasalahan utang – piutang akan tetapi telah terjadi laporan kepolisian. orang tersebut dapat meminta dirinya untuk melakukan penyelesaian secara musyawarah (alternatif disphute realtionship/ mediasi penal).

Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks Ultimum Remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir. Artinya, pemberian sanksi diutamakan dengan pemberian sanksi administratif atau sanksi perdata. apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka pemberian sanksi pidana baru dapat dipertimbangkan sebagai senjata terakhir atau Ultimum Remedium.

Selain dikenal dalam hukum pidana, Ultimum Remedium juga dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya “Hukum Penyelesaian Sengketa” mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya biasanya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi dinilai sebagai ultimum remidium setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil seperti Musyawarah.

 

Penulis : Rd. Anggi Triana Ismail, S.H.

 

Referensi:

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Mertokusumo, Sudikno. 2006. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.