23 Aug Kritikal Atas Dinamika Sosiologis Hukum Perjuangan Jurnalis Berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999
Prolog
Jurnalistik warga (citizen journalistic) pun mendapati problema serupa, namun kondisi jurnalis resmi tidaklah se-ektrem jurnalis warga, yang sama sekali tidak terlindungi oleh UU Pers, karena hanya bernaung pada payung hukum undang-undang tentang keterbukaan informasi publik dan kebebasan berekspresi. Setidaknya, jurnalis resmi memiliki hak untuk merahasiakan identitas narasumber sebagai hak prerogatif. Berbeda halnya dengan kasus seperti Khoe Seng-Seng serta Prita Mulyasari yang “memberitakan” kasus mal-praktik suatu rumah sakit swasta, berujung pada gugatan dan pemidanaan. Dewan Pers menjadi filter sejak mulai dari penyidikan di kepolisian, penuntutan oleh jaksa, hingga pemeriksaan di persidangan oleh hakim.
Ekspalanation
Para jurnalis dituntut senantiasa menggali kasus-kasus penuh resiko, seperti kasus korupsi, ilegal logging, trafficking, penambangan ilegal, penyelundungan senjata dan narkoba, hingga liputan investigastik terorisme. Disamping itu, yang paling riskan atas resiko hukum bila berita yang diliput menyinggung aktor pemegang kekuasaan, maka ranah politik menjadi momok bagi setiap peliput berita. Akurasi berita atas fakta yang dikuak oleh para jurnalisnya, akan berjumpa dengan ketegangan atas sensitifitas isu. Kriminalisasi kerap terjadi sebagai upaya pembungkaman pers.
Maka dapatlah kita benarkan, kepercayaan publik terhadap media massa sangat ditentukan oleh kualitas informasi, berita, dan wacana yang disajikan, yang mana kesemua itu ditentukan oleh para jurnalis yang langsung terjun ke medan peliputan dengan hanya berbekal kartu identitas jurnalis. Bila seorang pengacara dalam menjalankan profesinya, sebagai perbandingan, memiliki imunitas dari pemidanaan, maka apakah profesi jurnalis sedemikian rapuh?
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengandung beberapa spirit dibalik pembentukan undang-undang tersebut. Kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat, dan ciri negara demokratis. Kemerdekaan menyampaikan pikiran pendapat, memperoleh informasi, merupakan Hak Asasi Manusia, guna tegaknya keadilan, kebenaran, memajukan kesejahteraan, tata pemerintahan yang baik, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers nasional selaku wahana komunikasi massa (penyambung lidah masyarakat), penyebar informasi, dan pembentuk opini, harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
Pasal 1 Ayat (1) UU Pers mendefinisikan: “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.” Merujuk pada definisi diatas, pers haruslah sebuah lembaga, maka “pewarta warga” tidak ter-cover didalamnya. Bila pers memiliki imunitas berupa “hak jawab” para pihak yang merasa keberatan atas pemberitaan oleh pers, maka apakah hak yang sama berlaku mutatis mutandis terhadap “pewarta warga”?
Pasal 1 Ayat (4) UU Pers mengartikan: “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.” Artinya, jurnalis adalah sebuah profesi, bukan warga yang sesekali menulis dan mempublikasi berita / artikel sebagai pengisi waktu luang. Jurnalis memiliki Hak Tolak (agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Namun, Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan), sementara diimbangi dengan Hak Jawab oleh masyarakat. Jurnalis memiliki Kewajiban Koreksi sebagai legal remedialatas pemberitaan bila masyarakat yang merasa dirugikan atas berita tersebut menggunakan Hak Koreksi. Namun apakah pewarta warga tunduk pada kode etik jurnalistik?
Meski demikian, UU Pers itu sendiri rancu ketika Pasal 4 Ayat (1) UU Pers mengatur: “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Maka dapatlah juga kita katakan, pewarta warga sekalipun dilindungi layaknya seorang jurnalis profesional, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 17 UU Pers: “Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.”
Disebutkan pula, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi secara mandiri dan independen. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak, sebagai wujud pengakuan perlindungan hukum bagi narasumber berita.
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, disamping pemberitaan “yang berimbang”. Pada prinsipnya kode etik pers dibentuk guna melindungi para jurnalis itu sendiri agar tidak menyimpang dari fungsi dan peran pers itu sendiri, seperti memahami fungsi “embargo” penundaan pemuatan, off the record, tanpa prasangka atau diskrimininasi terhadap SARA, serta proporsional. Pers wajib melayani Hak Jawab disamping juga wajib melayani Hak Tolak.
UU Pers telah menyebutkan, Pers nasional melaksanakan peranannya, antara lain untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pasal 7 dan Pasal 8 UU Pers menyebutkan, Â Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik, dan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Tampaknya pewarta warga pun mengikuti pedoman kode etik jurnalistik, agar mendapat imunitas yang serupa.
Dewan Pers yang dibentuk oleh UU Pers, bersifat independen, dan memiliki fungsi: menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, dsb.
Pasal 18 UU Pers merupakan ketentuan pidana, mengatur:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Artinya, pelarangan terhadap pemberitaan / peliputan merupakan delik pidana pers.
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Artinya, pemidanaan bagi lembaga pers hanya mengenal ancaman pidana denda, berbeda dengan delik umum dalam KUHP, disamping delik pers hanya mengenal pemidanaan terhadap perusahaan tempat jurnalis bernaung, sehingga ancaman pidana bukan diarahkan kepada pribadi jurnalis bersangkutan. Hal ini menjadi kontras dengan kasus pidana penjara dengan dakwaan pencemaran nama baik yang dialami pewarta warga.
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah). UU Pers tidak mengenal delik yang diarahkan kepada pribadi peliput berita.
Tidak dipungkiri, terdapat oknum jurnalis nakal di lapangan, yang mana menggunakan profesinya justru untuk memeras seorang subjek atau untuk melakukan black campaign. UU Pers mengatur, Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Hak bertemu dengan kewajiban guna menciptakan titik equilibrium.
Dewan Pers berperan ketika terjadi sengketa secara hukum atas produk jurnalistik disamping peran Dewan Pers dalam menetapkan “Kode Etik Jurnalisitik”.  Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, disebutkan: “Sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan yang berhubungan dengan delik Pers, maka untuk memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-undang Pers, maka Hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli dibidang Pers. Oleh karena itu dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik Pers hendaknya Majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewas Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk Pers tersebut secara teori dan praktek.“
Delik dalam UU Pers merupakan lex spesialis derogat legi generalis dari delik umum KUHP, sehingga adalah peran Dewan Pers dalam menentukan apakah tindakan seorang jurnalis masuk dalam delik pers (artinya Jaksa Penuntut Umum dan Hakim hanya dapat menggunakan UU Pers) ataukah masuk dalam delik umum KUHP. Sayangnya, redaksional SEMA mencantumkan frasa “dapat”.
Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, telah disebutkan bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, disamping bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik, maka peran media masa sangat vital dalam menegakkan pilar negara demokratis, keterbukaan informasi, pers. Maka tidak mengherankan bila pers sering terlibat dalam urusan sengketa informasi publik. Masalahnya, apa yang menjadi kriteria informasi publik? Disitulah peran Komisi Informasi.
Yang perlu digaris bawahi, ancaman pidana bagi peran jurnalistik bukan hanya tersua dalam UU Pers, namun UU Keterbukaan Informasi itu sendiri terdapat pasal yang demikian multitafsir, yakni Pasal 51 UU No. 14 Tahun 2008: “Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Informasi Publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00.” Apakah yang dimaksud dengan menggunakan informasi publik secara melawan hukum?
UU Keterbukaan Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti lewat dibentuknya Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Komisi Informasi Pusat tentang Pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik dalam Mendukung Kemerdekaan Pers.
Esensi nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Mabes Polri dan Kejagung, bahwa kemerdekaan pers atau kebebasan pers adalah milik semua pihak, bukan hanya insan pers.
Nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian RI nomor 011/DP/MoU/II/2012 tentang Koordinasi Dalam Penegakan Hukum Dan Perlindungan Kemerdekaan Pers jo.nota kesepahaman dengan Kejaksaan Agung bernomor 01/DP/MoU/II/2013 tentang Koordinasi Dalam Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers Dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat, adalah beberapa produk hukum hak imunitas bagi insan pers, dilengkapi dengan  Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) pada 30 Desember 2008 yang mewajibkan para hakim untuk mendahulukan Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dalam menyelesaikan setiap sengketa pers, oleh karena Dewan Pers paling tahu seluk-beluk pers secara teori dan praktek.
Peraturan Dewan Pers Nomor 10/Peraturan-DP/X/2009 tentang Keterangan Ahli Dewan Pers mengatur, Anggota Dewan Pers yang memberikan keterangan dalam kedudukan pribadi tetapi keterangannya tidak sesuai dengan prinsip dan sikap Dewan Pers, akan diberikan sanksi sesuai Statuta Dewan Pers dan Dewan Pers wajib membuat surat kepada hakim bahwa keterangan yang bersangkutan bukan pendapat Dewan Pers.
Pada tanggal  6 Desember 2012 disepakati Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan oleh Organisasi Wartawan dan Asosiasi Perusahaan Pers. Begitupula telah terdapat Standar Perlindungan Profesi Wartawan yang disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga terkait, serta Dewan Pers di Jakarta, 25 April 2008.
Pasal 3 nota kesepahaman dengan Kejaksaan Agung, mengatur bahwa Kejaksaan akan meneruskan kepada Dewan Pers apabila menerima pengaduan dan atau laporan dugaan terjadi pelanggaran hukum di luar ruang lingkup pelanggaran Kode Etik, dan disepakati bila terdapat dugaan terjadi pelanggaran hukum yang berkaitan dengan pemberitaan pers, penyelesaiannya mendahulukan UU Pers sebelum menerapkan peraturan peraturan perundang-undangan lain. Sementara itu Pasal 4 menyebutkan, Dewan Pers akan menghadirkan ahli kepada pihak kejaksaan sebagai pelaksanaan koordinasi di bidang penegakan hukum dan kemerdekaan pers baik dalam bentuk preventif maupun represif.
Pasal 3 nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri, disebutkan, polisi melakukan tindakan penyidikan untuk penegakan hukum setelah menerima saran pendapat Dewan Pers apabila pengaduan dan/atau laporan dari masyarakat diluar ruang lingkup Kode Etik Jurnalistik, dan bila dinyatakan sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik, maka Dewan Pers baru akan meneruskan kepada Kepolisian sebagai dasar pertanggungjawaban hukum.
Oleh: R. Anggi Triana Ismail, S.H.
Admin/Uploader: Rudi Mulyana, S.H.
Referensi :
Shietra
Dasar Hukum :
– UUD 1945
– UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
– UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP