Sembilan Bintang & Partners | Keabsahan Surat Kuasa Lisan
755
post-template-default,single,single-post,postid-755,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

Keabsahan Surat Kuasa Lisan

Surat Kuasa adalah surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lainnya. Pelimpahan wewenang dapat mewakili pihak yang memberi wewenang. (Wikipedia Indonesia)

Surat kuasa bukan barang baru dalam khasanah Hukum Perdata Indonesia. Ia sudah ada dan diperkenalkan dalam hukum perdata sejak zaman Belanda. Ketentuan umumnya diatur dalam Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), sedangkan aturan khususnya diatur dalam HIR/RBg. Surat kuasa juga diatur dalam sejumlah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Sayangnya, hingga kini persoalan surat kuasa masih saja muncul di pengadilan, sehingga layak mendapat perhatian saat mengupas hukum acara perdata.

Meskipun terkesan sepele, surat kuasa hanya secarik atau beberapa lembar kertas,  dampaknya relatif besar dalam penanganan perkara. Mengacu Pasal 1792 Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pemberian kuasa adalah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Kuasa itu bisa diberikan secara tertulis atau lisan. Dalam praktiknya, ada beberapa jenis surat kuasa yakni surat kuasa umum, khusus, dan substitusi.
Kuasa umum, menurut Pasal 1795 KUH Perdata bertujuan memberi kuasa kepada seseorang  untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa (lastgever) berupa mengurus harta kekayaan pemberi kuasa dan segal sesuatu yang berkaitan dengan harta kekayaan itu. Titik berat kuasa umum adalah pengurusan (beherder)kepentingan pemberi kuasa. Pasal yang sama memungkinkan diberikan kuasa yang bersifat khusus, yaitu kuasa untuk mengurus kepentingan tertentu saja. Bisa satu, dua atau beberapa kepentingan sekaligus. Di depan pengadilan, kuasa khusus inilah yang dipraktekkan. Penggugat prinsipal atau penerima kuasa harus bisa menunjukkan surat kuasa yang bersifat khusus. Hakim selalu memeriksanya.

Ketentuan Pasal 1796 KUH Perdata menyebut pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Pasal ini disebut M Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdatasebagai dasar hukum kuasa istimewa. Kuasa ini dihubungkan dengan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBg.
Dalam praktek dikenal pula surat kuasa substitusi. Ada hak yang dapat dimasukkan dalam pemberian kuasa yaitu hak substitusi, sebagaimana diatur daam Pasal 1803 KUH Perdata. Intinya, hak substitusi memberikan hak bagi penerima kuasa untuk menunjuk pihak lain untuk bertindak sebagai penggantinya.

Patut diperhatikan bahwa pemberian kuasa adalah salah satu jenis persetujuan/perjanjian.

 

Maka, untuk sahnya pemberian kuasa itu juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

– kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

– kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

– suatu pokok persoalan tertentu;

– suatu sebab yang tidak terlarang.

Keabsahan kuasa lisan bisa kita lihat pada Pasal 1793 KUH Perdata disebutkan bahwa:

Kuasa dapat diberikan dan diterimadengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.

Dikarenakan tidak ada ketentuan yang mewajibkan pemberian kuasa untuk dilakukan secara tertulis, maka sekalipun pemberian kuasa dilakukan secara lisan, pemberian kuasa tersebut tetap sah.

Tentu dalam hal ini tetap perlu diperhatikan pemenuhan syarat sahnya perjanjian dalam pemberian kuasa.

Contoh keabsahan perjanjian lisan dapat Anda lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 44/PDT.G/2015/PN.YYK. Dalam kasus tersebut, pengadilan menimbang bahwa sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara, salah satunya, lisan. Oleh karena itu, perjanjian lisan merupakan perjanjian yang sah, karena memenuhi unsur kata sepakat yang terdapat dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Para pihak yang mengadakan perjanjian secara lisan diwajibkan melaksanakan prestasi dari apa yang telah disepakati.

Pembuktian Pemberian Kuasa Lisan

Dalam perkara perdata, meski bentuknya lisan, namun suatu perjanjian masih dapat dibuktikan melalui alat bukti lain, selain bukti tertulis, yang diterangkan Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu melalui bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Patut dipahami bahwa Pasal 1905 KUH Perdata menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam pengadilan tidak boleh dipercaya.

Maka, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk melakukan pembuktian, harus ada keterangan dari beberapa orang saksi dan/atau alat bukti lain untuk menjadi alat bukti yang sah. Hal tersebut juga diperkuat dean adas Unus Testis Nullus Testis “satu saksi bukanlah saksi”.

Sehingga surat kuasa lisan, bagi kami merupakan perbuatan hukum yang sah & mengikat, sepanjang kedua belah pihak mengikuti komponen Pasal 1320 KUH Perdata.
Demikian penjelasan perihal surat kuasa lisan.

Oleh: Rd. Anggi Triana Ismail, S.H.

Admin/Uploader: Rudi Mulyana, S.H

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.