Sembilan Bintang & Partners | Transplantasi Hukum Pidana Adat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP)
758
post-template-default,single,single-post,postid-758,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

Transplantasi Hukum Pidana Adat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP)

Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyakarat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Indonesia merupakan salah satu yang masih menggunakan kodifikasi dari kitab undang-undang yang ada di Belanda. Selain aturan hukum yang dikodifikasi dari Belanda, Indonesia juga masih menggunakan hukum adat yang dianut oleh masyarakatnya yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Sebelum ada kitab undang-undang yang ada di Belanda, hukum pidana adat sudah terlebih dahulu diterapkan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mula diberlakukan untuk seluruh wilayah di Indonesia dengan adanya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1964 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia, dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada dasarnya, KUHP yang diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia tersebut merupakan warisan kolonial yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 No. 73). Sehingga dapat dipahami jika asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia. Pemberlakuan KUHP tersebut menjadi keunikan tersendiri yang sebenarnya Indonesia telah memiliki hukum sendiri, jauh sebelum Belanda datang dan mengenalkan KUHP Belanda yaitu hukum adat.

Hukum yang ditinggalkan Belanda untuk kita adalah hukum modern yang dilandasi nilai-nilai individualis-liberal. Hal ini dikarenakan WvS berasal dari β€œCivil Law System” atau β€œThe Romano-Germanic Law” yang menurut Rene David banyak dipengaruhi oleh sistem nilai atau ajaran yang sangat menonjolkan paham β€œindividualism, liberalism, dan individual right”. Dalam hal ini, menurut Soepomo hal tersebut tidak sesuai dengan corak hukum adat yang mempunyai sifat kebersamaan, magis-religius, kongkret dan sangat visual. Uraian singkat tersebut menjelaskan bahwa hukum modern yang berasal dari Belanda ke Indonesia adalah hukum yang ditransplantasikan dari negara Belanda ke Indonesia sehingga tidak sesuai dengan adat kebudayaan orang Indonesia yang mempunyai sifat gotong royong.

Beny Simon Tabalujan, Dosen Nanyang Technological University, Singapore, menuliskan hal menarik dalam tesis doktornya di University of Melbourne pada Desember 2000. Tabalujan menjadikan Indonesia sebagai tempat penelitiannya. Dalam tesisnya, Tabalujan menuliskan:

β€œβ€¦β€¦.Robert Seidman, who coined the term β€˜the Law of Norm transferability of Law’, argued that transference of rules from one culture to another would not work because a rule β€˜cannot be expected to induce the same sort of role-performance as it did in the place of origin,”.

Pandangan tersebut menjelaskan betapa nilai-nilai budaya asli dari suatu daerah memegang peranan yang sangat penting dalam berjalannya suatu hukum di negara. Pola-pola pemasukan budaya yang tidak sesuai akan menimbulkan suatu faktor krimonogen.

Usaha dalam menyusun draft RUU KUHP untuk dapat menggantikan KUHP yang berlaku saat ini sudah dimulai tahun 1968 sampai dengan sekarang telah tersusun terakhir yaitu konsep RUU KUHP tahun 2019. Pasal yang berkaitan dengan hukum pidana adat atau Living Law dalam RUU KUHP tahun 2019 adalah pasal 1 dan pasal 2 RUU KUHP.

Menurut Soedarto unsur ini merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan, bukan terhadap si pembuat. Sifat melawan hukum sendiri pada dasarnya dibagi ke dalam dua bagian:

  1. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil.

Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus, hanya berdasarkan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).

  1. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil

Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam udang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (iibergesetzlich).

Sifat melawan hukum materiil kemudian dibedakan lagi menjadi dua bagian dalam fungsi negatif dan fungsi positif, yaitu :

  1. Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum formil;
  2. Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap suatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan undang-undang apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang. Jadi di sini diakui hukum yang tak tertuang sebagai sumber hukum yang positif.

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas terkait ajaran sifat melawan hukum materiil memberikan pengertian bahwa hukum yang berkembang di masyarakat atau hukum tidak tertulis juga merupakan sumber hukum. Ini berarti, asas legalitas materiil sebagai sumber hukum dalam hukum ajaran pidana diakui keberadaannya dan keberlakuannya.

Salah satu perbedaan antara legalitas formil dan legalitas materiil adalah persoalan tertulis atau tidak tertulisnya suatu perbuatan pada ancaman hukumannya. Namun, pada dasarnya kata kunci asas legalitas materiil sebenarnya bukan karena tak tertulisnya, melainkan hukum yang ada, hidup dan berlaku di masyarakat yang biasanya tidak tertulis. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep RUU KUHP 2019 yang telah dijelaskan, sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal berdasarkan Pasal 1 RUU KUHP, tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materiil yaitu dengan memberi tempat kepada hukum yang hidup dalam masyakarakat atau tidak tertulis berdasarkan Pasal 2 RUU KUHP.

Oleh: Zulfia Sabila

Admin/Uploader: Rudi Mulyana, S.H

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.