Sembilan Bintang & Partners | Suap Dalam Perspektif UU RI No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, Penegak Hukum : Antara Lupa & Malas
982
post-template-default,single,single-post,postid-982,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

Suap Dalam Perspektif UU RI No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, Penegak Hukum : Antara Lupa & Malas

Perbuatan pidana merupakan hal terlarang yang telah diinstruksikan negara kepada seluruh warga negara, bilamana ada pelanggaran maka pelaku mendapatkan konsekuensi logis dari perbuatannya dengan jeratan hukuman yang telah diatur oleh negara sesuai kadar perbuatannya.

Adapun beberapa macam hukuman sebagaimana Pasal 10 KUH Pidana, menyebutkan:

  1. Hukuman Pokok: Hukuman Mati, Penjara, Kurungan, Denda dan Tutupan;
  2. Hukuman Tambahan: Pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman keputusan hakim.

 

Kembali ke tajuk, bahwa saya sedikit mengulas tentang tindak pidana suap sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

 

Suap (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau ’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup). Dengan demikian seseorang yang terlibat dalam perbuatan suap menyuap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap.

 

Suap-menyuap bersama- sama dengan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds) sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles). Lebih di spesifikasikan kembali yakni “gratifikasi”.

 

Pengaturan dan batasan/definisi suap dan gratifikasi beserta ancaman sanksi bagi masing-masing tindak pidana tersebut jelas ada perbedaan diantaranya :

 

PerbedaanSuapGratifikasi
Pengaturan1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

2.      UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”)

3.      UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”)

1.       UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”)

2.       Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

DefinisiBarangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor)
SanksiUU 11/1980:

Pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

 

KUHP:

pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 149)

 

UU Pemberantasan Tipikor:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor).

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU Pemberantasan TipikoR)

 

Jadi, selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda. Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Jika melihat pada ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada unsur “mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

 

Sebagaimana informasi bahwa selama 23 tahun berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap tidak pernah sekali pun bisa menjerat dan mengantarkan pelaku ke penjara. Padahal praktek suap di Indonesia sudah seperti pandemik kemudian menjadi penyakit sosial yang sangat akut.

Prof. Andi Hamzah berpendapat. Mengenai pembuktian suap para penegak hukum selalu banyak kendala dan kesulitan, Prof. menegur “Bukan karena sulit dibuktikan”. Kalau itu masalahnya, sepanjang ada pengakuan dari pelaku ataupun operasi tangkap tangan bisa dijadikan alat bukti.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap diundangkan pada 27 Oktober 1980, hanya terdiri dari enam pasal. Intinya, baik pemberi maupun penerima suap dapat dipidana penjara dan denda.

Pasal 2 menyebutkan “Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp15 juta”.

Pasal 3 melanjutkan bahwa “Siapa saja yang menerima sesuatu atau janji, padahal ia tahu itu bertentangan dengan tugasnya dipidana maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp15 juta.”

Sebagai mantan jaksa dan staf ahli Jaksa Agung, Andi Hamzah justru mempertanyakan kenapa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap jarang digunakan. Padahal praktek suap begitu merajalela, sebagaimana yang terungkap dalam penelitian berbagai lembaga. Di sisi lain, undang-undang ini belum pernah dicabut oleh Pemerintah.

Jaksa selaku penuntut memang sangat jarang menggunakan Undang-Undang tersebut. Bahkan, dalam buku Himpunan Peraturan tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan (jilid I dan II) yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap tidak dicantumkan sama sekali. Padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, dicantumkan meskipun kepentingannya dengan jaksa tidak terlalu kuat dibanding undang-undang tentang suap.

Komitmen pemerintah untuk pemberantasan suap memang perlu dipertanyakan. Pada waktu KADIN mengajukan pakta anti suap, malah ada penolakan dari anggota kabinet. Bahkan, Wapres Hamzah Haz dikala itu dikabarkan dengan tegas menyatakan bahwa pakta anti suap belum terlalu penting. Kata dia, perangkat yang sudah ada saja dioptimalkan.

Seorang jaksa pengkaji di Jampidsus Kejaksaan Agung yang tidak mau disebut namanya menyatakan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Suap jarang digunakan lantaran klausulnya sulit dibuktikan. Jaksa merasa lebih gampang menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. “Sulit membuktikan adanya suap,” katanya. (catatan hukum online.com)

Bahwa masalah suap menyuap maupun korupsi itu sendiri bukanlah hal hitam dan putih semata tetapi ada korelasi antara satu dengan yang lain. Persoalan ini menjadi persoalan negara karena melibatkan tidak hanya unsur eksekutif tetapi juga legislatif dan yudikatif. Perbaikan moral dan etika dari para aparat penegak hukum, keutuhan substansi dan struktur hukum haruslah dibarengi pula dengan kinerja Sistem Peradilan Pidana yang benar-benar terpadu.

Perhatian kebijakan hanya kepada lembaga-lembaga penegak hukum yang khusus (ad hoc) saja, tetapi juga pada lembaga penegak hukum terutama yang berada di daerah khusunya daerah terpencil dan rawan konflik serta adanya perlindungan dan keamanan pada aparat penegak hukum. Akhirnya strategi pemberantasan korupsi maupun suap yang efektif harus mengakui hubungan antara korupsi, etika, pemerintahan yang baik dan pembangunan yang berkesinambungan.

 

Oleh: Rd. Anggi Triana Ismail, S.H.

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.