Sembilan Bintang & Partners | Kualitas Alat Bukti Saksi dalam Hukum Acara Persaingan Usaha
995
post-template-default,single,single-post,postid-995,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

Kualitas Alat Bukti Saksi dalam Hukum Acara Persaingan Usaha

Hukum Persaingan Usaha merupakan bagian dari hukum ekonomi yang juga memiliki dimensi di bidang-bidang hukum, antara lain hukum perdata dan hukum pidana. Dimensi publik dari hukum persaingan usaha dapat kita lihat pada bagian asas dan tujuan, serta adanya sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Terkait pengutamaan alat bukti saksi, berdasarkan logika hukum publik, alat bukti keterangan saksi lebih diutamakan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kebutuhan dari penegakan hukum persaingan usaha yang memang mencari kebenaran material ketimbang kebenaran formal.

Ketentuan mengenai alat bukti dalam hukum acara persaingan usaha diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Alat-alat bukti yang diakui dan sah dalam pemeriksaan perkara persaingan usaha tersebut adalah:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat dan atau dokumen;
  4. petunjuk; dan
  5. keterangan pelaku usaha.

Secara struktural dan jenisnya, alat bukti dalam hukum acara persaingan usaha memang hampir sama dengan hukum acara pidana. Yang membedakan adalah di hukum acara pidana salah satu alat buktinya adalah keterangan terdakwa, sedangkan di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah keterangan pelaku usaha. Namun demikian tidak terdapat ketentuan tentang keutamaan di antara alat-alat bukti tersebut.

Pandangan bahwa “hukum persaingan usaha” merupakan bagian dari ranah hukum perdata pun di dalam undang-undang tidak ada penegasan. Pengkategorian hukum acara persaingan usaha termasuk bagian dari ranah hukum perdata baru ditemui di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.

Namun demikian menurut penafsiran bahwa hukum acara persaingan usaha merupakan bagian sepenuhnya dari hukum acara perdata merupakan “kecelakaan intelektual”. Hal ini karena materi hukum persaingan usaha pada hakekatnya lebih cenderung masuk ke dalam ranah hukum publik baik terkait dengan isu kerugian publik (konsumen secara massif) akibat tindakan kartel yang di beberapa negara merupakan tindak pidana. Selain itu juga terlihat dari peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang merupakan badan publik dan bukan badan swasta yang layak dijadikan subyek hukum perdata. Meskipun, dalam melakukan gugatan atas kerugian yang terjadi, konsumen di beberapa negara akan menempuh upaya hukum “civil action” yang masuk dalam ranah hukum perdata.

Sri Redjeki Hartono (Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000, hal. 39) berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus sebagai suatu kajian yang komprehensif. Dua aspek hukum itu meliputi aspek hukum publik maupun aspek hukum perdata. Agus Brotosusilo (Agus Brotosusilo, Pengantar Hukum Ekonomi, Kertas Kerja, Disajikan pada Diskusi antar Bagian di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 Oktober 1994, hal. 5) berpendapat bahwa pembidangan hukum dalam bidang publik dan perdata seperti sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kenyataannya kini hampir tidak ada bidang kehidupan yang terlepas dari campur tangan negara.

Sesuai dengan pandangan-pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa memang hukum ekonomi memiliki dimensi hukum publik dan hukum perdata (privat). Hukum persaingan usaha merupakan bagian dari hukum ekonomi dan merupakan bidang hukum yang memiliki seluruh aspek pembidangan hukum konvensional. Oleh karena hukum persaingan usaha memiliki kondisi dimensial yang sama. Dengan kata lain bahwa hukum persaingan usaha juga memiliki dimensi di bidang-bidang hukum, antara lain hukum perdata dan hukum pidana. Dimensi publik dari hukum persaingan usaha dapat kita lihat pada bagian asas dan tujuan, serta adanya sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Namun demikian, jika berdasarkan logika hukum publik, alat bukti keterangan saksi lebih diutamakan, maka hal ini dapat dimaklumi penerapannya dalam hukum persaingan usaha, mengingat kebutuhan dari penegakan hukum yang memang mencari kebenaran material ketimbang kebenaran formil.

 

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.

 

Oleh: Rd. Anggi Triana Ismail

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.