08 Aug Informed Consent, Suatu Perjanjian Terapeutik dan Pertanggungjawaban Hukumnya
Rekan pernah sakit dan dirawat di rumah sakit? Lalu rekan sebagai pasien atau pihak keluarga pernah disodori dokumen untuk ditandatangani sebelum dokter melakukan tindakan? Dokumen tersebut bernama Informed Consent atau nama lainnya adalah Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Berdasarkan definisi, tindakan kedokteran merupakan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter maupun paramedis terhadap pasien. Sedangkan Informed Consent adalah Persetujuan Tindakan Kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut, atau dengan kata lain Informed Consent dibuat sebagai dasar sahnya dokter melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien yang telah disetujui secara tertulis oleh pasien tersebut. Tujuannya adalah, Informed Consent yang jelas dan baik, dapat dipahami oleh pasien maupun pihak keluarga mengenai segala manfaat dan risiko serta tujuan tindakan yang akan diberikan oleh dokter, termasuk tingkat keberhasilan suatu pengobatan maupun tindakan kedokteran.
Pada dasarnya tindakan kedokteran mengandung risiko (Possibility of bad consuquences) atau bahkan tindakan kedokteran tertentu selalu diikuti oleh akibat (what follows logically or effectively from some causal action or condition) yang tidak menyenangkan. Risiko baik atau buruk yang menanggung adalah pasien, atas dasar tersebut pasien memiliki hak yang bersifat hakiki untuk menentukan segala sesuatu pada tubuhnya, sehingga setiap tindakan harus selalu atas persetujuan pasien adalah mutlak diperlukan dalam tindakan medis, apabila suatu tindakan kedokteran telah mendapat persetujuan pasien, barulah tindakan yang dilakukan terhadap pasien tersebut menjadi legal dan sah, kecuali pasien dalam kasus emergency. Dalam keadaan pasien emergency, dokter akan melakukan tindakan kedokteran tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan pasien, hal ini dikarenakan dokter mengutamakan keselamatan pasien.
Pada umumnya, tindakan kedokteran yang membutuhkan Informed Consent antara lain:
- Operasi;
- Pemberian obat bius atau anastesi;
- Tranfusi darah;
- Terapi radiasi atau radioterapi dan kemoterapi;
- Penjahitan luka;
- Imunisasi;
- Pemeriksaan penunjang tertentu, misalnya biopsi, pungsi lumbal dan tes HIV atau VCT.
Adapaun Informed Consent tersebut berupa lembaran form persetujuan dan informasi mengenai tindakan kedokteran, isi dari Informed Consent yaitu:
- Identitas pasien dan nama tenaga medis yang memberikan penjelasan, serta dokter yang akan melakukan tindakan;
- Nama penyakit atau informasi mengenai diagnosis atau kondisi medis pasien;
- Jenis prosedur pemeriksaan atau pengobatan yang direkomendasikan atau akan dilakukan oleh dokter;
- Informasi tentang tindakan kedokteran harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta;
- Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan pasien atau pasien menolak diberikan informasi;
- Dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluaga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedis lain sebagai saksi;
- Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan kedokteran yang akan dilakukan, risiko dan manfaat dari tindakan medis yang akan dilakukan, risiko dan manfaat alternatif tindakan, termasuk jika tidak memilih prosedur tersebut;
- Informasi Perkiraan biaya tindakan kedokteran dan pengobatan, informasi diberikan secara lisan;
- Informasi harus dibeikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien;
- Dalam hal tindakan bedah (Operasi), informasi harus diberikan oleh dokter yang melakukan informasi itu sendiri;
- Dalam keadaan tertentu di mana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud di atas informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab;
- Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi;
- Perluasan informasi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien, hal tersebut di atas harus dilakukan dan dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.
Informend Consent disebutkan dalam beberapa Peraturan Perundang-Undangan, antara lain yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MenKes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Informed Consent dalam telaah hukum merupakan Perjanjian Terapeutik yang terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu tentang syarat sahnya perjanjian, hal ini menyebabkan Informed Consent hanya bisa ditandatangani oleh pasien atau pihak keluarga yang sudah dewasa secara hukum, bisa memahami penjelasan dokter dengan baik, sadar penuh, serta memiliki kondisi kejiwaan yang sehat.
Perjanjian Terapeutik itu sendiri merupakan perikatan yang dilakukan antara dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien yang berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak dalam pelayanan medis secara profesional yang didasarkan pada kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kesehatan. Perjanjian Terapeutik mencakup 3 hal, yaitu diagnostik, preventif, dan rehabilitatif maupun promotif, yang di mana dari 3 hal tersebut terdapat 2 hak yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination), dan hak atas dasar informasi (the right to informations).
Perjanjian Terapeutik tergolong dalam perjanjian ispanning, yang artinya bahwa perjanjian tersebut tidak didasarkan pada hasil akhir akan tetapi didasarkan pada upaya yang sungguh-sungguh, maka yang menjadi perhatian utama pada Informed Consent ini adalah proses, cara, dokter atau paramedis dalam melakukan tindakan medis.
Pasien tidak memiliki kewenangan untuk menolak Informed Consent, melainkan hanya kewenangan menolak tindakan yang tertuang dalam Informed Consent. Menurut Pasal 16 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MenKes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, menyebutkan bahwa:
- Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan;
- Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis;
- Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien;
- Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.
Dalam hal pasien atau pihak keluarga telah menandatangani Informed Consent namun kemudian menolak dilaksanakannya tindakan kedokteran tersebut, maka penolakan tersebut hanya dapat dilakukan apabila belum dilaksanakannya tindakan kedokteran sebagaimana yang tertuang dalam Informed Consent.
Pertanggugjawaban Perdata
Informed Consent tidak melindungi dokter atau tenaga medis lain yang terlibat termasuk rumah sakit sebagai badan hukum dari pertanggungjawaban hukum baik gugatan secara perdata maupun tuntutan pidana atas segala tindakan kedokteran yang merugikan pasien termasuk terjadinya malpraktik.
Tindakan kedokteran tanpa Informed Consent atau tanpa persetujuan pasien maka tindakan kedokteran tersebut dianggap pelanggaran hukum dan harus dipertanggungjawabkan atas kerugian yang diderita pasien. Mengapa hal tersebut bisa terjadi, karena hubungan hukum antara dokter atau tenaga medis lainnya dengan pasien sama sebagaimana kedudukan pasien sebagai konsumen dan dokter/ paramedis sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa pelayanan kesehatan. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 756 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa “jasa layanan kesehatan adalah termasuk bisnis”. Maka berlaku terhadapnya ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”. Dalam hal ini tindakan kedokteran tersebut termasuk ke dalam Onrechtmatige daad atau Perbuatan Melawan Hukum secara perdata.
Kemudian, apabila adanya Informed Consent namun terjadi tindakan kedokteran yang tidak sesuai dengan isi Informed Consent, maka tindakan kedokteran tersebut dapat disebut sebagai tindakan Wanprestasi atau Perbuatan Ingkar Janji. Dalam hal tersebut maka dokter yang bersangkutan memliki tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1239 KUHPerdata, yaitu “Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan pergantian biaya, kerugian, dan bunga, bila debitur tidak memenuhi janjinya.”
Pertanggungjawaban hukum tersebut diperkuat dengan ketentuan lex specialis pada Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyebutkan bahwa:
- Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya;
- Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat;
- Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hukum pidana, suatu tindakan kedokteran tanpa adanya izin dari pasien, maka tindakan kedokteran tersebut dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian dalam hal terjadinya kelalaian dari tindakan kedokteran tersebut, maka dapat dikenakan Pasal 359, 360, dan Pasal 361 KUHP dengan 3 tingkatan culpa atau kelalaian, yaitu: sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross fault or neglect), kesalahan biasa atau culpa levis (ordinary fault or neglect), kesalahan ringan atau culpa levissima (slight fault or neglect).
Informed Consent bukan hanya sebatas formalitas belaka, hal ini karena selain berkaitan dengan nyawa, tidak jarang antara dokter dan pasien kurang memperhatikan dengan baik Informed Consent tersebut. Misal, ketidakfahaman dokter terutama pasien yang menimbulkan suatu permasalahan tersendiri menyangkut praktik kedokteran. Permasalahan-permasalahan tersebut bisa saja meliputi ketidakterbukaan informasi yang menjadi hak seorang pasien, kesalahan diagnosa, atau adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dari Informed Consent, dll. Pasien akan cenderung menuruti saja apa yang diperintahkan dokter/ paramedis karena ketidaktahuannya tersebut.
Oleh : Nia Juniawati, S.H.
Referensi Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor290/MenKes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran;
- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 756 Tahun 2004