26 Jul KEWAJIBAN BAYAR UTANG DALAM PANDANGAN BW & KHI, BAGI YANG MENINGGAL
Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris tidak serta merta berarti seluruhnya merupakan harta kekayaan yang nantinya akan dibagi kepada segenap ahli waris. Ada suatu saat di mana pewaris meninggalkan harta peningggalan berupa hutang. Perihal mengenai mewaris hutang ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa di dalam setiap ketentuan hukum positif yang mengatur perihal kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblaad Nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie) selalu disebutkan bahwa bagian harta warisan akan siap untuk dibagi kepada segenap ahli waris jika telah dikurangi dengan hutang-hutang dan wasiat.
Seorang ahli waris dapat bersikap menerima atau menolak warisan, sikap ini dilindungi oleh undang-undang dengan beberapa ketentuan hukum yang mengikat atas sikap tersebut, sebab sikap yang dimikian memiliki akibat hukum yang sangat komplek baik terhadap dirinya maupun terhadap keberadaan ahli waris lain dan warisan yang ditinggalkan.
“KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)”
Pengaturan umum mengenai hutang-pihutang orang yang meninggal dunia dapat dikaji dalam Al-Qurâan Surat An-Nisaaâ ayat 11, 12, 33, dan 176. Dari ketentuan umum tersebut dijelaskan dalam pelaksanaan pembagian kewarisan itu harus dilakukan terlebih dahulu.
Hutang-hutang orang yang meninggal dunia dapat berupa:
- Biaya perawatan/pengobatan yang selama sakit yang belum dibayar;
- Biaya penguburan orang yang meninggal;
- Biaya selamatan orang yang meninggal;
- Biaya rumah tangga yang dibuat oleh yang meninggal pada waktu masih hidup, waktu sakit sampai saat meninggal; dan
- Lain-lain biaya yang ada kaitannya dengan orang yang meninggal.
Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya ada banyak sekali kitab fikihnya, setidaknya ada 13 kitab fikih yang digunakan sesuai dengan Kementerian Agama RI yang menjadi rujukan hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Dari 13 kitab fikih tersebut terdiri dari dari :
- Hasyiyah Al-bajuri;
- Fathul Muâin;
- Al-syarqowi âala Al-tahrir;
- Hahsyiyah Qulyubi;
- Fathul-wahhab dengan syarahnya;
- Tuhfah Al-muhtaj;
- Targhibul-musytaq;
- Al-qawanin Al- syariâyah Li Sayyid Ustsman bin Yahyah;
- Al-quwanin Al-syariâiyah Li Sayyid bin Saqadah Dahlan;
- Al-syamsuri Fi Al-faraidhi;
- Bughyatul Musytarsyidin;
- Al-fiqhuâala Al-madzahib Al-âarbaâah; dan
- Mughni Al-muhtaj.
Dari 13 fikih tersebut adalah fikih imam syafi’i.
Mengenai kewajiban dari ahli waris untuk melunasi hutang-hutang dari pewaris dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 171 huruf e KHI yang menyatakan bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Apabila disimpulkan, menurut ketentuan tersebut berarti pemenuhan kewajiban pewaris didahulukan sebelum harta warisan dibagikan kepada para ahli warisnya. Pada dasarnya pembayaran hutang dibebankan kepada harta yang dimiliki pemilik hutang, jadi anak tidak wajib menanggung hutang orang tua karena bagi orang yang berhutang dan sampai akhir hayatnya hutangnya belum dilunasi, maka untuk pembayaran hutangnya diambil dari harta warisnya sebelum dibagi kepada ahli warisnya. Akan tetapi walaupun tidak wajib bagi ahli waris membayar hutang almarhum orang tua namun dalam Islam dianjurkan membayar hutang orang tua sehingga almarhum terbebaskan dari keburukan yang disebabkan karena hutang.
“KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Staatsblaad Nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie)”
Pada dasarnya 3 pokok mengenai Hukum Waris ini yaitu obyek pewarisan (harta peninggalan), siapa yang berhak atas warisan tersebut (ahli waris) dan aturan pembagian warisan. Prinsip-prinsip Kewarisan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan bahwa:
- Pasal 830 KUH Perdata menyebutkan bahwa âPewarisan hanya terjadi karena kematianâ. Dalam hal ini, sejak kematian tersebut, maka perpindahan segala hak dan kewajiban pewaris beralih pada para ahli warisnya. Beralihnya para ahli waris hanyalah hak dan kewajiban dalam hubungan hukum harta kekayaan;
- Pasal 836 KUH Perdata menyebutkan bahwa : âAgar dapat bertindak sebagai ahli waris, seseorang harus sudah ada pada saat warisan itu dibuka, dengan mengindahkan ketentuan dalam Pasal 2 kitab undang-undang iniâ. Prinsipnya orang bertindak sebagai ahli waris, maka ia harus ada atau sudah dilahirkan pada saat terbukanya warisan. Di dukung dalam pasal 899 KUH Perdata menyebutkan âUntuk dapat menikmati sesuatu berdasarkan surat wasiat, seseorang harus sudah ada pada saat pewaris meninggal, dengan mengindahkan peraturan yang ditetapkan dalam Pasal 2 undang-undang ini. Ketentuan ini tidak berlaku bagi orang-orang yang diberi hak untuk mendapat keuntungan dari yayasan-yayasan.”. Jadi, kematian dan kelahiran sesorang memegang peranan penting dalam pewarisan.
- Perpindahan dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris saja, hak dan kewajiban kekayaan si pewaris yang dapat dinilai dengan uang, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Terjadinya peralihan kewajiban dari pewaris kepada para ahli waris tersebut dasar ketentuannya pada pasal 833 dan pasal 955 KUH Perdata bunyinya sebagai berikut :
- Pasal 833 KUH Perdata
âPara ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Bila ada perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan dengan demikian berhak memperoleh hak milik seperti tersebut di atas, maka Hakim dapat memerintahkan agar semua harta peninggalan itu ditaruh lebih dahulu dalam penyimpanan Pengadilan.
Negara harus berusaha agar dirinya ditempatkan pada kedudukan besit oleh Hakim, dan berkewajiban untuk memerintahkan penyegelan harta peninggalan itu, dan memerintahkan pembuatan perincian harta itu, dalam bentuk yang ditetapkan untuk penerimaan warisan dengan hak istimewa akan pemerincian harta, dengan ancaman untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.â
Â
- Pasal 955 KUH Perdata
âPada waktu pewaris meninggal dunia, baik para ahli waris yang diangkat dengan wasiat, maupun mereka yang oleh undang-undang diberi sebagian harta peninggalan itu, demi hukum memperoleh besit atas harta benda yang ditinggalkan.
Pasal 834 dan 835 berlaku terhadap mereka.â
Â
- Pasal 833 dan 955 KUH Perdata memberi pengertian bahwa semua harta kekayaan baik aktivita dan passiva dengan matinya pewaris kepada para ahli waris. Jadi, tidah hanya harta kekayaan berbentuk hak-hak, melainkan juga harta kekayaan yang berupa kewajiban dan beban-beban lainnya seperti hibah wasiat atau legaat. Dipertegas lagi melalui pasal 1100 KUH Perdata menyebutkan bahwa âPara ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.â Maka hutang pewaris dapat dialihkan kepada ahli waris berdasarkan KUH Perdata.
Demikian.
Oleh: R. Anggi Triana Ismail, S.H.
Dasar Hukum :
- Al Qur’an;
- Hadits;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Kompilasi Hukum Islam;
- Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI.
Referensi :
- Abdul Fatah Idris, 1997, Figh Islam, Cet I, Rineka Cipta, Jakarta;
- Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta;
- Hukum Online;
- Legal Smart Channel;