11 Jun MEMAHAMI HAK CIPTA DAN PENTINGNYA PERLINDUNGAN HAK CIPTA
Ayat (2)
“Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.”
Ayat (3)
“Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”
Begitulah bunyi Pasal 9 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi Hak Cipta para pemilik intelektual di bidang cipta.
Kemudian, belum lama ini Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/ Atau Musik, yang merupakan penguatan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam pemungutan royalti bagi para pencipta lagu dan/atau musik. Peraturan Pemerintah ini mewajibkan 13 area Pelayanan Publik Komersial untuk membayarkan royalti atas lagu dan/ atau musik yang digunakannya tersebut, antara lain restoran, kafe, konser musik, pusat rekreasi, bioskop, usaha karaoke, dan lembaga penyiaran.
Kantor Hukum Sembilan Bintang & Partners saat ini sedang menangani Perkara Hak Cipta yang dialami oleh Bapak Syam Permana (Syamsudin) salah seorang pencipta lagu dangdut legendaris tahun 80 an. Di mana lagu-lagu ciptaan beliau telah dinyanyikan oleh banyak penyanyi papan atas dan banyak digunakan sebagai pemutar roda perekonomian oleh berbagai pihak, namun sayang, Pak Syam sebagai pencipta lagu tersebut belum begitu merasakan royalti yang seharusnya menjadi haknya sebagaimana yang dijaminkan oleh undang-undang.
Perkara Pak Syam ini ramai dibahas di berbagai media baik elektronik maupunn surat kabar, menarik perhatian berbagai pihak, membuat kita sadar mengapa Hak Cipta perlu dilindungi.
Mari kita pahami apa itu Hak Cipta dan mengapa Hak Cipta sangat penting untuk dilindungi.
Hak Cipta atau yang juga dikenal dengan istilah Copyright, pertama kali dikemukakan dalam Berne Convention atau Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) sebuah Konvensi Internasional tertua tentang Hak Cipta yang dibentuk pada tanggal 9 September 1886. Hak Cipta berdasarkan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, merupakan hak eksklusif Pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Suatu ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, meliputi:
- buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
- ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
- alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
- drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
- karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
- karya arsitektur;
- peta; dan
- karya seni batik atau seni motif lain.
Hak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terbagi 2, yaitu:
- Hak Ekonomi;
- Hak Moral.
Hak Ekonomi, merupakan hak eksklusif Pencipta atau mendapatkan manfaat ekonomi. Royalti sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerinah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/ Atau Musik merupakan bagian dari pemanfaatan Hak Ekonomi. Hak Ekonomi pada dasarnya tetap berada di tangan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, namun karena Hak Ekonomi tersebut dianggap sebagai benda bergerak tak berwujud maka sifatnya dapat dialihkan sehingga pemanfaatan dari Hak Ekonomi dapat berpindah dari Pencipta ke Pemegang Hak Cipta untuk sebagian atau seluruhnya. Pengalihan Hak Ekonomi dapat dilakukan melalui perjanjian maupun jual putus.
Hak Moral, merupakan hak yang sifatnya melekat secara abadi pada diri Pencipta. Hak Moral tidak dapat dihapuskan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Suyud Margono, Hak moral meliputi 2 hal, yaitu:
- Hak untuk diakui dari karya, yaitu hak dari Pencipta untuk dipublikasikan sebagai Pencipta atas karyanya, dalam rangka untuk mencegah pihak lain mengaku sebagai Pencipta atas karya tersebut;
- Hak keutuhan, yaitu hak untuk mengajukan keberatan atas penyimpangan atas karyanya, perubahan atau tindakan-tidakan lain yang dapat menurunkan kualitas ciptaannya.
Melalui Hak Moral tersebut pula lah Pencipta dapat menuntut hasil ciptaannya serta mengajukan keberatan atas penyimpangan, pemotongan, perubahan atau tindakan-tindakan lainnya yang dapat menurunkan serta merusak kualitas ciptaan dan reputasi Pencipta.
Meskipun tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan Hak Cipta atas ciptaannya, karena menurut definisi Hak Cipta itu sendiri menyatakan bahwa Hak Cipta tersebut timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa perlu didaftarkan. Namun, tentu bukan tanpa risiko dengan tidak mendaftarkan Hak Cipta atas hasil ciptaan kita. Apabila ciptaan tidak didaftarkan, maka siapapun dapat mengambil manfaat maupun mengklaim dari penggunaan ciptaan tersebut, sedangkan penciptanya tidak mendapat apapun. Hal ini terjadi karena pendaftran Hak Cipta memiliki fungsi proteksi dan fungsi ekonomis.
Fungsi Proteksi adalah melindungi ciptaan dari tindakan sabotase dan/atau pengambilan keuntungan dari sebuah karya. Dengan adanya Fungsi Proteksi, Pencipta tidak perlu merasa takut jika pihak lain mengambil keuntungan dari ciptaannya tanpa izin Pencipta. Jika pun hal tersebut terjadi, Pencipta telah memiliki legalitas yang sah secara hukum atas ciptaannya tersebut untuk diproses hukum sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 95 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan:
- Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan;
- Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Pengadilan Niaga;
- Pengadilan lainnya selain Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak berwenang menangani penyelesaian sengketa Hak Cipta;
- Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.”
Melalui Pasal 95 ini dapat kita pahami bahwa pihak manapun yang menggunakan, menyiarkan, mengggandakan, memasarkan, melakukan pembajakan dan lain-lain yang artinya melanggar ketentuan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 sebagai tujuan komersil tanpa izin Pencipta, maka Pencipta tersebut memiliki hak untuk menggugat dan/atau menuntut secara pidana sebagai upaya Ultimum Remidium.
Sedangkan Fungsi Ekonomis adalah melindungi ciptaan dari pihak yang menggunakan ciptaan tersebut untuk kepentingan tertentu, seperti pemasaran, penggandaan, penyiaran dll, maka pihak tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta, dan Pencipta berhak menolak ataupun memberi izin kepada pihak tersebut.
L.J Taylor mengungkapkan, yang dilindungi Hak Cipta adalah ekspresi dari sebuah ide. Jadi bukan melindungi idenya semata, melainkan perlindungan terhadap pengungkapan ide tersebut dalam bentuk yang nyata.
Perlindungan Hak Cipta menjadi sangat penting, karena melalui perlindungan tersebut para Pencipta bukan hanya terlindungi wujud karya ciptaannya, namun juga Pencipta dapat memperoleh royalti atau keuntungan materi atas hasil ciptaannya yang telah digunakan oleh pihak lain.
Perlindungan Hak Cipta dapat dilakukan dengan cara mendaftarkan ciptaan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia dengan tata cara yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Oleh: Nia Juniawati, S.H.
Refferensi:
- Undang-Undang Nomo 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/ Atau Musik;
- Konvensi Bern.