Sembilan Bintang & Partners | Membaca Tumbuh Kembangnya Konsep Ubi Societas Ibi Ius & Law Enforcement Di Indonesia
1110
post-template-default,single,single-post,postid-1110,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

Membaca Tumbuh Kembangnya Konsep Ubi Societas Ibi Ius & Law Enforcement Di Indonesia

Membaca berawal dari kata baca, menurut KBBI artinya melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati).

Salah satu jurnalis cerdas, Najwa Shihab, dalam acaranya menyampaikan  “Bahwa Membaca adalah upaya untuk menemukan makna.”

Selain dari KBBI, di dalam keyakinan saya pun dianjurkan untuk membaca bahkan bagian dari varian ibadah. Usaha mencari ilmu pengetahuan di samping diperintahkan oleh Rasululah SAW, kapan dan dimanapun berada. Al-Qur’an sendiri juga telah memerintahkan hal yang sama, Ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk mambaca, yang merupakan unsur pertama dalam pengambil-alihan ilmu.

Bacalah dengan (menyebut) “nama Tuhanmu Yang mencipta-kan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq ayat 96 : 1-5)

 

Menyoal kondisi masyarakat Indonesia hari ini dalam menatap & memahami hukum secara luas belumlah sampai kepada titik kematangannya.

Ubi Societas Ibi Ius adalah ungkapan yang tercatat pertama kalinya diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) seorang filsuf/ ahli hukum dan ahli politik yang dilahirkan di Roma Italia.

Pandangannya tentang aliran interaksi dalam masyarakat dan pembentukan struktur hukum membawanya pada kesimpulan bahwa setiap masyarakat mutlak menganut hukum, baik disengaja ataupun tidak. Hingga saat ini mayoritas instansi hukum di banyak negara termasuk Indonesia menganut pengertian ini. Konsep hukum ini jika diamati, sejatinya berlaku juga di masa kini, menembus dimensi pemikiran dan fisik. Hukum dasar yang menjiwai setiap lakon kita sebagai manusia yang hidup sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon). Ubi Societas Ibi Ius juga sekaligus menjadi peringatan dini bahwa keberanian melakukan pelanggaran etik hanya akan membawa diri berhadapan dengan masyarakat, dan itu bisa dilakukan penuntutan keadilan di luar jalur formal. Sanksi sosial-moral akan jauh lebih terasa, sebagaimana dipercaya banyak manusia. Itulah mengapa, kehidupan interaksi antara makhluk sosial perlu belajar secara holistik baik itu hukum secara universal ataupun hukum-hukum baru yang diterima secara integral.

Manusia dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan kepentingan (Conflict of Interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaaan seperti itulah, hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang hidup bermasyarakat mempunyai kebutuhan hidup yang beraneka ragam. Kebutuhan hidup itu hanya dipenuhi secara wajar apabila manusia mengadakan hubungan satu sama lain. Dalam hal tersebut lalu timbulah hak dan kewajiban timbal balik, hak dan kewajiban yang mana harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Dan agar tercipta tata hubungan yang diharapkan, diperlukan adanya norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang telah disepakati sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bersama.

Kaidah-kaidah hukum yang telah disepakati sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bersama, kaidah atau peraturan hukum tersebut dapat berupa peraturan hukum materiil (Materiile Recht) maupun hukum formil (Formil Recht). Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, maka di negara hukum seperti di Indonesia, diperlukan adanya suatu institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ius Constitutum).

Indonesia sebagai suatu negara hukum, sudah selayaknya prinsip-prinsip dari suatu negara hukum juga harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Indonesia secara kontekstual sudah sedikit mendewasa dalam memahami konsep Ubi Societas Ibi Ius adagium Cicero, hal itu bisa dilihat dari banyaknya aturan yang tercipta dalam skala dinamika berbangsa & bernegara. Namun dewasa ini di tengah masifnya peraturan hukum, keadaan menjadi lebih timpang alias tidak sejalan dengan ritme penegakan hukum (Law Enforcement) itu sendiri. Bagaimana tidak, mulai dari buruknya moralitas sampai kepada lingkungan yang kurang sehat dalam menekadkan suatu kemaslahatan demi sebuah kemajuan peradaban.

Di negara Indonesia sendiri ada beberapa indikator yang mempengaruhi proses penegakan hukum atau (Law Enforcement) menjadi kurang efektif. Untuk menganalisisnya, menurut teori Lawrence Friedman (dalam bukunya The Legal System: A Social Science Perspective, 1975). Friedman menggunakan tiga pendekatan, yaitu: substansi perundang-undangan, struktur organisasi pengadaan beserta penegakannya, dan yang ketiga adalah budaya.

Pertama, Substansi Perundang-undangan, baik yang dibuat oleh legislatif dengan persetujuan bersama eksekutif, maupun kewenangan eksekutif membentuk peraturan di bawah undang-undang dan seterusnya. Permasalahan yang muncul bisa diakibatkan adanya overlapping substansi suatu peraturan dengan substansi peraturan yang lainnya. Banyak peraturan hukum dibuat bukan untuk masyarakat luas, melainkan lebih condong melindungi kaum pemilik kepentingan semata, contoh semacam undang-undang terbaru yang menjadi kontroversial yakni Omnibus Law dan lain sebagainya.

Kedua, Struktur Organisasi Pengadaan Beserta Penegakannya. Menurut Soerjono Soekanto bahwa penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ada dua indikator peran penegak hukum yaitu kualitas dan integritas. Dengan kata lain dua indikator ini dapat dijadikan tolak ukur melihat peran penegak hukum. Sebagai contoh kasus fenomenal yang melibatkan FY yang merupakan penegak hukum (mantan pengacara SN) terbukti telah melakukan beberapa kesalahan yang fatal dalam proses penegakan hukum. Dalam hal ini FY ini telah melakukan Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan, bahasa sederhannya menghalangi proses penyidikan tindak pidana korupsi. Sebagaimana putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 5 bulan kurungan. Putusan ini kemudian diperkuat dengan putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Selain itu mengenai kualitas FY sebagai pengacara pun juga menjadi sorotan manakala FY ingin melaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi ke Mahkamah International. Berdasarkan hasil analisa kasus tersebut terlihat masih kurang efektifnya sarana edukatif dalam menjaring sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas dalam dunia penegakan hukum sehingga berpengaruh secara signifikan terhadap proses penegakan hukum.

Ketiga, Budaya, merupakan unsur yang harus diperhatikan manakala kita sedang mengamati dan terlibat dalam proses penegakan hukum. Budaya hukum dapat dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan pengaruh sosial dalam menentukan bagaimana hukum tersebut. Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh, mengenai sikap masyarakat dalam menggunakan sabuk keselamatan apakah karena taat pada Undang-Undang Lalu Lintas ataukah karena takut pada Polisi Lalu Lintas, bahkan takut akan mahalnya denda yang akan dikenakan? merupakan cermin dari sikap kebanyakan individu di Indonesia. Masyarakat yang takut pada hukum, bukan masyarakat yang patuh pada hukum. Patuh pada hukum bukanlah tujuan yang tertinggi. Tujuan tertinggi adalah setiap individu dalam masyarakat bersikap di bawah alam sadarnya sesuai dengan tujuan hukum. Disini hukum diterapkan secara ekeftif dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan contoh tersebut perlu diadakan suatu pengenalan pendidikan hukum sejak dini sehingga mampu memberikan kesadaran hukum bagi setiap individu dan dapat menjadi penopang proses penegakan hukum yang efektif.

Kesimpulannya adalah hukum tidak dapat muncul/timbul/hidup jika komponen manusia sebagai subjek hukum tidak nampak. Harus ada insan-insan (masyarakat) sehingga terciptalah hukum. Ketika hukum tercipta dan berjalan dengan baik maka hukum akan menciptakan perlindungan bagi masyarakat yang berujung terwujudnya secercah keadilan & kehidupan yang lebih beradab.

 

Oleh: Rd. Anggi Triana Ismail, S.H.

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.