27 May Mengenal Pembuktian Terbalik Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Mardjono Reskodiputro dalam Buku Sistem Peradilan Pidana Indonesia menyatakan
Sistem peradilan pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembagalembaga kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Permasyarakatan terpidana. Sistem Peradilan Pidana juga merupakan ekosistem yang menggunakan Hukum Pidana dalam ketentuan hukum maupun peraturan pelaksanaannya. Sedikit hal yang membedakan, Sistem Peradilan Pidana memiliki beberapa perbedaan dengan sistem peradilan lainnya. Perbedaan dengan sistem peradilan perdata misalnya dalam Sistem Peradilan Pidana memungkinkan suatu perkara untuk
diadili meski tidak ada orang yang melaporkan memohonkan perkara tersebut untuk diadili, sementara dalam sistem peradilan perdata peradilan dapat dilaksanakan bilamana ada pihak yang menggugat atau memohonkannya.
Dalam Hukum Acara Pidana agenda pembuktian dikenal sebagai ajang bagi kedua belah pihak yang berperkara di pengadilan untuk membuktikan mengenai kebenaran dari dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara. Kedua belah pihak akan mencoba meyakinkan hakim agar perkara yang sedang diadili dapat diputus sesuai dengan petitum atau permohonan yang diajukan dengan mengemukakan dalil dan juga dua alat bukti yang sah untuk membuktikan benar atau tidaknya unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana yang di dakwakan.
Pengaturan mengenai pembuktian dalam Hukum Acara Pidana sendiri diatur dalam Pasal 183-189 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP ayat (1) adalah :
a) Keterangan saksi ;
b) Keterangan Ahli ;
c) Surat ;
d) Petunjuk ; dan
e) Keterangan terdakwa atau pengakuan terdakwa.
Tujuan dilakukannya pembuktian dalam peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran materill yang artinya fakta yang sebenarnya mengenai ada atau tidak suatu pelanggaran ataupun kejahatan sebagaimana yang didawakan terhadap seseorang. Sehingga dalam pembuktiannya keterangan dari saksi memiliki kekuatan yang lebih untuk dapat membuktikan benar atau tidaknya suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang di bandingkan alat bukti surat ataupun petunjuk. Dalam pembuktian biasanya Jaksa Penuntut Umum yang akan membuktikan bahwa terdakwa bersalah dan melakukan pelanggaran atau kejahatan sebagaimana didakwa dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum. Namun berbeda dengan pembuktian pada umumnya, pembuktian terbalik tidak dilakukan oleh penuntut umum melainkan oleh terdakwa, biasanya dilakukan dalam kejahatankejahatan tertentu seperti Tindak Pidana Korupsi ataupun Tindak Pidana Pencucian Uang yang didasarkan pada Asas Praduga Bersalah, dalam asas ini seseorang akan dianggap bersalah hingga pengadilan menyatakan bahwa ia tidak bersalah yang berarti subjek hukum dalam asas ini wajib untuk menyangkal dan membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Pelaksanaan dari pembuktian terbalik ini diatur dalam beberapa pasal salah satunya Pasal 12 B huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang didakwa menerima gratifikasi dengan nilai diatas sepuluh juta rupiah harus membuktikan bahwa uang atau materi yang ia terima bukan merupakan suap yang dilakukan pada penerima gratifikasi, yang berarti terdakwa tindak pidana korupsi diharuskan untuk membuktikan asal-usul uang atau aset dengan nilai tertentu tersebut, motif diberikannya, atau bahkan keterkaitan dari uang atau aset tersebut dengan kerugian negara.
Pengaturan lainnya ada pada Pasal 37 ayat (1) dan (2) di dalamnya menyatakan bahwa terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan pembuktian yang dilakukan terdakwa inilah yang akan menjadi dasar bagi pengadilan untuk menyatakan terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Ketika dilakukan pembuktian terbalik oleh terdakwa, perlu dijelaskan mengenai nilai sebenarnya dari kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa mulai dari uang hingga aset yang dimiliki, selanjutnya menjelaskan mengenai sumber kekayaan seperti penghasilan berupa gaji, hasil usaha, atau sumber pemasukan lainnya.
Disamping itu apabila terdakwa telah berkeluarga maka terdakwa juga akan membuktikan sumber pemasukan dari istri atau anggota keluarganya atau usaha yang dimiliki keluargnya. Semua hal tersebut selain daripada keterangan saksi dapat dibuktikan melalui alat bukti surat seperti slip gaji, laporan pemasukan dan pengeluaran perusahaan, dan lain sebagainya. Sehingga berdasarkan keterangan dan alat bukti yang diajukkan dapat ditarik persesuaian, mengenai seimbang atau tidaknya sumber pemasukan dari terdakwa dengan total kekayaan yang dimilikinya. Jika dalam pembuktian terbalik terjadi kejanggalan terdapat suatu kejanggalan dari dalil dan bukti yang diberikan oleh terdakwa maka hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah dan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana di dakwakan.
Pembuktian terbalik juga diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Penucian Uang, yang menyatakan bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan merupakan hasil tindak pidana. Dalam Tindak Pidana pencucian uang terdakwa hanya perlu membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya berasal dari tindak pidana, sedangkan Penuntut Umum akan membuktikan mengenai ada atau tidaknya Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiamana didakwakan. Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Penuntut umum tidak perlu membuktikan tindak pidana asal yang dilakukan oleh terdakwa hal ini diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Penucian Uang . Tentunya pembuktian terbalik sebagaimana diatur yang dalam pasal 12 dan 37 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki perbedaan, sebagaimana diatur di dalamnya Tindak Pidana Korupsi dikategorikan menjadi beberapa bentuk tindakan diantaranya :
a) Suap Menyuap ;
b) Kerugian Keuangan Negara ;
c) Penggelapan dalam Jabatan ;
d) Pemerasan ;
e) Perbuatan Curang ;
f) Benturan kepentingan dalam Pengadaan ;
g) Gratifikasi ;
Berdasarkan kategori perbuatannya orang yang didakwa melakukan gratifikasi memiliki pembuktian yang bertumpu pada objek yang diduga merupakan bentuk gratifikasinya sehingga yang dibuktikan adalah asal muasal uang atau aset yang di duga diterima sebagai gratifikasi tersebut, sementara dalam kategori perbuatan lainnya pada tindak pidana korupsi terdakwa perlu membuktikan nilai harta kekayaan yang dimilikinya serta sumber-sumbernya
untuk memperoleh persesuaian mengenai tindak pidana korupsi yang didakwakan.
Pembuktian terbalik dapat kita pandang sebagai progress hukum di Indonesia bukan tanpa alasan. Sebelum adanya pembuktian terbalik yang mengedepankan Asas Praduga Bersalah, Pembuktian pada umumnya bertumpu pada Asas Presumption Of Innoncent ( Asas Praduga Tidak Bersalah ) yang berarti sebelum pengadilan menyatakan terdakwa bersalah maka pada prinsipnya mereka di duga tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, hal menyebabkan kesulitan untuk memberantas tindak pidana ekonomi seperti korupsi ataupun pencucian uang dikarenakan beban pembuktian yang rumit.
Oleh : Arnold Regan Patar Sitorus (Peserta Magang SBLO 2022)
Sumber-Sumber :
• Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Penucian Uang
• Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Mardjono Reskodiputro
• Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
• Kejahatan Jabatan & Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. ; Theo Lumintang, S.H