13 Feb Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Masa Pandemi Covid-19
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada pekerja/karyawan haruslah berdasar pada peraturan-perundang-undangan yang terkait, tidak dengan sepihak dan/atau sewenang-wenang hingga menghilangkan hak pekerja/karyawan tersebut. Beberapa kasus PHK oleh pemberi kerja/Perusahaan terjadi sejak adanya bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) dengan tidak mempertimbangkan secara seksama bahwa pekerja/karyawan telah mengemban kewajibannya sebagai pekerja secara baik dan mencapai target pekerjaan yang menentukan bagi kondisi pemberi kerja/perusahaan. Faktanya banyak pemberi kerja/Perusahaan tidak menerbitkan dan atau memberikan peraturan perusahaan kepada karyawan dan tidak pernah memberikan secara tertulis uraian kerja dan target yang harus dicapai oleh pemberi kerja/Perusahaan, selanjutnya secara sepihak melakukan penilaian terhadap hasil kerja dan tidak pernah mendiskusikan dengan pekerja/karyawan (vide Putusan Mahkamah Agung RI No. 675 K/Pdt.Sus-PHI/2017, tanggal 20 Juli 2017). Ada juga Perusahaan/pemberi kerja yang lalai sebelum terjadinya PHK kepada pekerja/karyawan, sebagaimana diketahui kewajiban pemberi kerja/Perusahaan terlebih dahulu adalah memberikan surat peringatan, surat peringatan kepada pekerja yang tidak melalui proses penetapan di lembaga perselisihan hubungan industrial dapat dijadikan dasar untuk mewajibkan pemberi kerja/perusahan agar membayar hak-hak pekerja/karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja, (vide Putusan Mahkamah Agung 994 K/Pdt.Sus-PHI/2020 tanggal 13 Agustus 2020).
Pada tahun 2020, satu perusahan/pemberi kerja yang terletak di Kota Bekasi secara tiba-tiba melakukan PHK kapada puluhan pekerja/karyawan, dengan dalih telah merugi selama dua tahun berturut-turut. Namun tidak dijelaskan secara terperinci hal-hal kerugian dimaksud dan tanpa adanya surat pemberitahuan terlebih dahulu, kemudian para pekerja/karyawan meminta perundingan/klarifikasi sehubungan dengan pemutusan kerja yang dialami para pekerja/karyawan, dan mengajukan hak-haknya melalui perundingan/Bipartit pertama, kedua, ketiga, dan bahkan sampai keempat, namun tidak ada kesepakatan antara kedua pihak. Para pekerja/karyawan keberatan atas PHK sepihak tersebut dikarenakan tidak melalui beberapa tahapan prosedur, bahwa setelah diberikannya surat PHK kepada para pekerja, pemberi kerja/Perusahaan tidak pernah memperlihatkan secara detail kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun berupa dokumen Hasil Audit dan/atau suatu putusan pengadilan yang mengatakan bahwa pemberi kerja/perusahaan tersebut mengalami kerugian. Kemudian para pekerja/karyawan selama bekerja sampai pada Mei 2020/sebelum diberikannya surat PHK tidak pernah mengetahui/mengalami/merasakan adanya kerugian pemberi kerja/Perusahaan, dikarenakan pada setiap pemberian upah kepada pekerja/karyawan tiap bulannya tidak adanya pengurangan, dan ataupun pengurangan karyawan.
Selanjutnya para pekerja/karyawan menempuh upaya Tripartit di Dinas Tenaga Kerja, namun dalam pertimbangannya menyampaikan “Tidak beraktifitasnya perusahaan, disebabkan karena kerugian yang dialami perusahaan secara terus menerus” dan “dampak dari virus Covid-19 yang mengakibatkan perusahaan tidak mampu melanjutkan aperasionalnya” merujuk pada Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), …………. dst”. Bahwa mengenai dampak dari virus Covid-19 yang mengakibatkan perusahaan tidak mampu melanjutkan aperasionalnya, tidak bisa dijadikan alasan force majeure hal ini dijelaskan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease (COVID 19) sebagai Bencana Nasional, tidak bisa jadi legitimasi force majeure untuk membatalkan perjanjian hukum maupun kontrak. Pasalnya Covid 19 tidak datang secara tiba-tiba, seperti halnya gempa bumi, tsunami, atau bencana alam lainnya, yang langsung hancur begitu, tapi merupakan gradual dan sebenarnya bisa diantisipasi, kemudian bisa melakukan proteksi, dan sebagainya walaupun tidak ada jaminan orang/badan hukum terkena dampak. Para pihak maupun objek perjanjiannya tidak serta merta hilang /berubah, seperti halnya yang terjadi dalam bencana alam. Atas dasar itu pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan alasan force majeure untuk membatalkan kontrak. Hal yang bisa dilakukan terkait perjanjian hukum atau kontrak disituasi bencana nasional non alam ini adalah renegosiasi. Para pihak bisa melakukan renegosiasi dan itu termasuk dalam kebebasan kontrak. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat sejumlah Pasal yang membahas soal force majeure yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245.
Pasal 1244 KUHPerdata
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya”.
Pasal 1245 KUHPerdata
“tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Bahwa Terdapat sejumlah unsur utama yang membuat sebuah kondisi dianggap sebagi force majeure. Pertama adanya kejadian tidak terduga, kedua halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan, ketiga ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur, dan ke empat ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibeban resiko kepada debitur. Akibat luasnya kemungkinan keadaan atau force majeure, para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian hukum atau kontrak biasanya mencantumkan klausul dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeure dalam perjanjian mereka. Hal ini guna mendapat kepastiaan hukum.
Inisiatif: Royharja Butar-Butar
Oleh : Adv. Evan Sukrianto, S.H.
Advokat Sembilan Bintang & Partners