Sembilan Bintang & Partners | Penegakkan Hukum Bagi Pasien BPJS yang Ditolak Rumah Sakit
1227
post-template-default,single,single-post,postid-1227,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

Penegakkan Hukum Bagi Pasien BPJS yang Ditolak Rumah Sakit

Mendapat pelayanan kesehatan merupakan hak bagi setiap manusia. Taraf kehidupan yang memadai dalam kesehatan dan kesejahteraan merupakan hak asasi setiap manusia, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), setiap kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat, harus dilaksanakan dengan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia, serta peningkatan ketahanan dan saya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Pemberian pelayanan kesehatan ini harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (1) perubahan kedua yang menyatakan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Rumah sakit, merupakan salah satu lembaga pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Rumah sakit menurut Komite Ahli Organisasi Kesehatan Dunia pada Organisasi Perawatan Medis, merupakan bagian integral dari organisasi kemasyarakatan dan kedokteran yang fungsinya memberikan pelayanan kesehatan yang lengkap baik secara penyembuhan maupun pencegahan, bagi penduduk, serta pelayanan rawat jalannya menjangkau keluarga dan lingkungan rumahnya; Rumah sakit juga menjadi pusat pelatihan tenaga kesehatan dan penelitian biososial.

Tugas dan fungsi rumah sakit menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU No. 44 Tahun 2009) antara lain menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai standar, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi SDM dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam pemberian layanan kesehatan, dan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehtan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Untuk memberi pelayanan kesehatan yang merata kepada masyarakat, tentunya pemerintah telah berupaya membuat peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dan membentuk lembaga pemerintah untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan, guna tercapainya cita-cita bangsa dalam memberi pelayanan kesehatan secara optimal dan merata yang merupakan hak seluruh masyarakat bangsa Indonesia.

BPJS (Badan Penyelenggara  Jaminan Sosial), merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU No. 24 Tahun 2011). Jaminan kesehatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yaitu jaminan yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi  sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar seluruh rakyat Indonesia memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan  dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Menurut UU No. 24 Tahun 2011, BPJS kesehatan bertugas untuk :

  1. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;
  2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja;
  3. Menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
  4. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta;
  5. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial;
  6. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial;
  7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan masyarakat.

Namun demikian, meskipun pemerintah telah berupaya dalam memberikan pelayanan kesehatan melalui undang-undang dan pembentukan lembaga khusus, realitanya tidak jarang pula kita temui tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh rumah sakit kepada pasien BPJS, seperti penolakan pasien BPJS dan kurang maksimalnya pelayanan yang diberikan rumah sakit terhadap pasien BPJS, dimana seharusnya rumah sakit merupakan tempat pelayanan kesehatan dan merupakan tempat dimana orang yang sakit mencari dan menerima pengobatan unutk penyembuhan penyakitnya. Permasalahan yang terjadi selama ini, rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS seringkali menolak pasien BPJS yang gawat darurat dengan alasan kondisi pasien tidak termasuk dalam kondisi gawat darurat.

Rumah sakit memiliki kewajiban untuk memberikan pertolongan (emergency) tanpa mengharuskan pembayaran uang muka terlebih dahulu, hal ini tertuang dalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009) yaitu:

Pasal 32 ayat (1)

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelematan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

 

Pasal 32 ayat (2)

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

 

Penolakan pasien pada kasus gawat darurat merupakan pelanggaran hak dan kewajiban yang lahir dari undang-undang yang membawa kerugian kepada pasien, sehingga tindakan penolakan pasien pada gawat darurat tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Penolakan pasien keadaan gawat darurat merupakan kelalaian medik yang berupa tidak melakuan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Tenaga kesehatan melalaikan kewajibannya sebagai tenaga kesehatan yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009. Pertanggungjawaban malpraktik tidak hanya disebabkan adanya perjanjian antara pasien dan rumah sakit ataupun wanprestasi tetapi juga karena tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan menurut Undang-Undang yang berlaku ataupun standar dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.

Rumah sakit sebagai badan hukum yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat akan selalu dipantau kinerjanya baik oleh pemerintah maupun badan pengawas rumah sakit. Pengawasan tersebut untuk meminimalisir adanya hak pasien yang tidak terpenuhi. Pada Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit menyebutkan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Sehingga apabila rumah sakit melakukan penolakan terhadap pasien maka rumah sakit tersebut sudah melanggar undang-undang.

 

Perlindungan Hukum Terhadap Peserta BPJS

Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan, Pasal 25 ayat (1) huruf e, menyatakan bahwa setiap peserta mempunyai hak untuk menyampaikan pengaduan kepada fasilitas kesehatan dan atau BPJS kesehatan yang bekerja sama. Selain itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 45 ayat (1) juga mengatur mengenai hak peserta BPJS.

Selanjutnya, peserta BPJS yang mendapatkan penolakan oleh Rumah Sakit juga memiliki hak untuk menuntut ganti rugi kepada rumah sakit. Seperti yang diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 32 huruf q dan r, yang mengatakan bahwa setiap pasien memiliki hak untuk menggugat dan menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata maupun pidana, dan mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu hak untuk menuntut ganti rugi ini juga diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 Pasal 58 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Hal ini tentu saja sangat penting bagi peserta BPJS, mengingat banyaknya kasus penolakan pemberian pelayanan kesehatan oleh rumah sakit terhadap peserta BPJS, dengan adanya peraturan seperti yang disebutkan di atas, hak asasi masyarakat pengguna BPJS tentunya akan terlindungi apabila ada pihak rumah sakit melakukan tindakan yang merugikan bagi kesehatan dan nyawa peserta itu sendiri.

 

Sanksi yang diberikan dalam rangka penegakan hukum bagi peserta BPJS

Sanksi yang diberikan kepada Rumah Sakit yang melakukan penolakan kepada peserta BPJS untuk memperoleh pelayanan kesehatan  dikenakan sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, denda dan pencabutan izin Rumah Sakit. Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009.

Selain itu juga diatur dalam Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Sistem Pencegahan Kecurangan (Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pasal 24 ayat (1), disebutkan bahwa dalam hal terbukti adanya tindakan kecurangan berdasarkan laporan hasil investigasi sebagaimana dimaksud  dalam pasal 21 huruf e maka BPJS Kesehatan dapat menghentikan perjanjian kerjasama dengan FKTP dan FKRTL milik swasta. Sanksi perdata juga berlaku terhadap rumah sakit yang menolak pasien BPJS dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, yakni pemberian ganti rugi terhadap pasien yang mengalami kerugian atas penolakan tersebut.

Juga sanksi pidana, apabila pasien yang ditolak berada dalam kondisi darurat, sanksi pidana berupa penjara, dapat diberikan kepada pimpinan pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan pada fasilitas kesehatan. Tentunya hal tersebut sepatutnya ditegakkan, mengingat kondisi darurat merupakan kondisi yang sangat mengancam nyawa apabila tidak diberi tindakan secepatnya. Terlebih lagi apabila pihak rumah sakit menolak memberi pelayanan kesehatan hingga menyebabkan pasien meninggal dunia, hal ini juga tentu saja melanggar Hak Asasi Manusia yakni hak atas kesehatan dan hak untuk hidup.

 

Oleh : Revika Destiana Putri (Peserta Magang Kantor Hukum Sembilan Bintang)

Sumber :

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS;
  4. Pradnyani, Ni Nyoman Ayu Ratih. 2020. Tanggung Jawab Hukum Dalam Penolakan Pasien Jaminan Kesehatan Nasional. Surabaya: Scopindo Media Pustaka.;
  5. Putri, Larissa. 2018. Jurnal Ilmiah “Perlindungan Hukum Terhadap Peserta Bpjs Kesehatan Atas Penolakan Pelayanan Kesehatan Oleh Rumah Sakit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Bpjs”. Diakses Pada 02 April 2022, Dari;
  6. Hervialdiva, Vegi Yudha. M Faiz Mufidi. 2018. “Penolakan Pemberian Pelayanan Kessehatan Oleh Rumah Sakit Terhadap Pasien Bpjs Kesehatan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit”. Diakses Pada 02 April 20222;
  7. Rs Pratama Kriopanting. “Definisi, Tugas, Dan Fungsi Rumah Sakit”. Diakses Pada 02 April 2022.

 

 

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.