16 Apr Pernikahan Anak dibawah umur. Selain Merenggut Hak Anak, Juga Sebagai Bentuk Pelanggaran HAM
Pernikahan anak di bawah umur masih sering terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Saat ini indonesia dalam kondisi darurat pernikahan di bawah umur. Apalagi setelah heboh pernikahan yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji yang menjadi sorotan publik karena dilaporkan diam2 menikah siri dengan anak di bawah umur berusia 7 tahun berisial D Warga Grabag Magelang (Sumber kompas.com 03/04/2020). Sebelumnya Syekh Puji juga pernah menikahi anak di bawah umur berusia 12 tahun bernama Ulfa, pada tahun 2016. Dari rentetan kejadian di atas, rasa prihatin terhadap bangsa ini dan terutama anak2 generasi penerus bangsa. Masih banyak anak2 yang direnggut hak dan kebebasannya.
Perkawinan anak adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang masih belum dewasa baik fisik maupun mentalnya. Praktek perkawinan anak masih banyak terjadi di daerah pedasaan atau pinggiran kota. Perkawinan anak ini mempunyai sifat paksaan, yang dilatar belakangi antara lain untuk menjalankan perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui orang tua atau kerabat yang sakit, atau hanya untuk menjalankan pesan wasiat dari orang tua yang meninggal. Rumah tangga yang dibina oleh pasangan istri yang masih belum matang dalam seluk beluk hidup dan kehidupan ini sering berakhir dengan kehancuran rumah tangga sendiri.
Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas tahun)”.
Otomatis dari penjelasan pasal tersebut sudah menjadi tolak ukur bahwa ada batasan umur seseorang untuk melakukan suatu perkawinan, yaitu pria / wanita yang sudah berusia 19 tahun. Tetapi masih banyak di luar sana, anak-anak yang belum genap berusia 19 tahun sudah dinikahkan oleh orangtuanya. Karena pemahaman dari masyarakat.
Banyak faktor yang menjadi alasan pernikahan anak dibawah umur, yaitu:
– faktor kebudayaan, adat istiadat atau cara pandang tradisi masyarakat.
– faktor ekonomi, dimana kebanyakan terjadi ketika seseorang berasal dari keluarga tidak mampu. Hal ini berdampak bagi org tua maupun anak tsbt. Karena anak tbst akan mendapatkan hidup yg layak dan beban orgtua berkurang.
– faktor pendidikan yg rendah, anak putus sekolah sehingga memutuskan untuk menikah.
– faktor orangtua, dimana anak hamil di luar nikah, dan untuk menutupi aib keluarga. Si anak lalu dinikahkan.
– faktor inkonsistensi hukum di indonesia, terutama mengenai undang2 perkawinan.
Dan faktor lainnya penyebab maraknya pernikahan anak di bawah umur.
Menurut data statistik pada tahun 2018. 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia yang berumur 20-24 tahun, yang menikah sebelum berusia 18 tahun diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Pada Oktober 2019, pemerintah indonesia mensahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada tahun 2018, 11,21% perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum mereka berumur 18 tahun. Pada 20 provinsi prevalensi perkawinan anak masih ada di atas rata2 nasional. (Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Bappenas, Unicef, PUSKAPA).
Banyak risiko dari pernikahan di bawah umur, yaitu: risiko kekerasan terhadap perempuan, KDRT (karena faktor psikologis dan emosional anak), resiko meninggal pada anak perempuan berusia 10-14 tahun saat hamil dan melahirkan, bila dibandingkan dengan perempuan berusia 20-24 tahun tahun, menyebabkan penyakit kanker rahim, anemia, infeksi, risiko bayi prematur, kelainan kongenita / cacat bawaan, kematian janin, dan penyakit. Terlalu dini menjadi ibu dan terlalu banyak yang harus dikorbankan. Mereka akan kehilangan masa remaja dan kesempatan pendidikan, apalagi jika ditambah masalah perkawinan dan kesehatan.
Untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur, penting adanya bagi kita untuk menyadarkan masyarakat bahwa pernikahan dini perlu diantisipasi atau diatasi. Perlindungan terdekat yang didapatkan oleh seorang anak adalah perlindungan dari orang tua dan keluarganya. Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi ekonomi atau seksual, penelantaran, kekejaman, eksploitasi, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
Perlindungan hukum terhadap anak juga merupakan peran penting dari pemerintah dan negara di mana dalam Peraturan Mentreri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten / Kota Layak Anak, telah menyebutkan urusan pemerintah di bidang perlindungan anak merupakan kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan kewarganegaraan, wajib pemerintahan daerah kabupaten / kota.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam setiap kabupaten / kota harus memenuhi hak-hak seorang anak. Dalam peraturan ini menyebutkan adanya Kabupaten / Kota Layak Anak dimana dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan Kabupaten / Kota Layak Anak disingkat KLA adalah kabupaten / kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegritasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan usaha dunia yang berkelanjutan dan berkelanjutan dalam program kebijakan dan kegiatan untuk menjamin terpenuhnya hak anak.
Memberdayakan Anak dengan informasi, keterampilan dan jaringan pendukung lainnya, berupa pelatihan keterampilan, pelatihan edukasi mengenai seksual dan bimbingan, Ruang aman atau forum kelompok sosialisasi di lingkungan luar rumah, mendidik dan menggerakan orang dengan cara bersosialisasi, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak , memberikan dukungan ekonomi dan mempersembahkan intensif pada anak dan keluarganya, dan untuk mengubah budaya tersebut seharusnya pemerintah dan masyarakat membangun kesadaran bersama-sama akan menghargai sesama manusia dan hak-hak manusia.
Mengikis budaya patriatisme dan mengarahkan menjadi budaya kesetaraan dengan cara mensosialisasikannya dengan materi-materi gender.
Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan perkawinan di bawah umur meminta dispensasi terlebih dahulu kepada Pengadilan. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 26 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua mencegah pesta perkawinan pada usia anak. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan perkawinan di bawah umur dalam mewujudkan negara kesejahteraan perlu dikaji benar-benar dampak yang ditimbulkan yang merugikan bagi pasangan suami istri. Oleh karena itu adanya solusi pencegahan dalam mengatasi sebelum kejadian perkawinan dini tersebut. Pencegahan perkawinan anak dibawah umur dapat dilakukan dengan cara memberikan penyukuhan kepada masyarakat tentang dampak buruk yang terjadi kepada anak yang melakukan perkawinan anak di bawah umur, memberikan penyuluhan mengenai kesehatan, dan mensosialisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan adanya pencegahan tersebut diharapkan praktek perkawinan anak dibawah umur tidak lagi terjadi di daerah pedesaan atau pinggiran kota.
Oleh: Silvi Romdonita, SH
Admin / Uploader: Rudi Mulyana, SH