Sembilan Bintang & Partners | PROBLEMATIKA PT. ASURANSI JIWASRAYA. SIAPAKAH HARUS YANG BERTANGGUNGJAWAB?
732
post-template-default,single,single-post,postid-732,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode_grid_1300,hide_top_bar_on_mobile_header,qode-theme-ver-17.0,qode-theme-bridge,disabled_footer_bottom,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-5.5.5,vc_responsive

PROBLEMATIKA PT. ASURANSI JIWASRAYA. SIAPAKAH HARUS YANG BERTANGGUNGJAWAB?

Menjadi perusahaan yang terpercaya dan dipilih untuk memberikan solusi bagi kebutuhan asuransi dan perencanaan keuangan adalah visi yang dilahirkan oleh PT. Asuransi Jiwasraya sebagai perusahaan asuransi jiwa tertua sekaligus satu-satunya perusahaan asuransi jiwa milik Pemerintah Republik Indonesia (BUMN). Tanggal 31 Desember 1859, diukir sebagai awal mula sejarah perjalanan panjang PT. Asuransi Jiwasraya sampai akhirnya mampu memiliki eksistensi di masyarakat. Pada masa itu, pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai wilayah Nusantara (red:Indonesia) begitupun untuk penguasaan Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente (red: PT. Asuransi Jiwasraya). Kemudian pada tahun 1957, perusahaan asuransi jiwa ini dinasionalisasi dalam program Indonesianisasi perekonomian Indonesia dan mengakibatkan perubahan nama menjadi PT. Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera. Setelah melewati perjalanan panjang, barulah pada tanggal 23 Maret 1973 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1972 dengan Akta Notaris Mohamad Ali No. 12 Tahun 1973 perusahaan ini berubah statusnya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Jiwasraya yang anggaran dasarnya kemudian diubah dan ditambah dengan Akta Notaris Sri Rahayu No. 839 Tahun 1984 Tambahan Berita Negara Nomor 67 tanggal 21 Agustus 1984 menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Dalam perjalanan usahanya PT. Asuransi Jiwasraya tidak selalu menghadapi jalan yang mulus. Tahun 2002 menjadi awal catatan kelam untuk kondisi keuangan perusahaan asuransi jiwa ini. Hal ini disebabkan, keadaan PT. Asuransi Jiwasraya yang memiliki sejumlah utang melebihi harta kekayaan sehingga tidak sanggup membayar (red: insolvensi) uang pertanggungan yang telah ditetapkan kepada para nasabahnya sebesar Rp. 2,9 triliun. Tidak hanya itu saja, permasalahan lain pun bermunculan hingga sampai dengan sekarang.

Persoalan pelikpun kini tengah melilit PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pada bulan Desember 2019, diketahui kembali perusahaan asuransi jiwa ini membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi beban utang yang ditanggungnya dibandingkan dengan aktiva yang ada (red:rasio solvabilitas), aset yang hanya tercatat sebesar Rp23,26 triliun dengan kewajibannya yang dipikul sebesar Rp50,5 triliun sehingga menghasilkan nilai ekuitas negatif atau defisit sebesar Rp27,24 triliun serta hutang dari produk JS Saving Plan sebesar Rp15,75 triliun. Hingga akhir 2020, klaim atas uang pertanggungan para nasabah yang akan jatuh tempo mencapai Rp16,1 triliun dan memuncul adanya indikasi kerugian yang dialami oleh negara sebesar Rp13,7 triliun akibat gagalnya PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) untuk membayarkan uang tersebut.

Sebenarnya pada tahun 2016, pemeriksaan atas kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) telah mulai dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Namun, barulah di tahun 2018 BPK berani menyimpulkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pengumpulan dana dari produk JS Saving Plan serta penempatan investasi dalam bentuk saham dan reksa dana yang berakibat negara mengalami kerugian.

Pelanggaran terhadap Pasal 11 dan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian pun telah dilakukan. Pernyataan ini didasari sebab, timbul pertanggunganjawaban hukum yang harus dijalani. Padahal pasal-pasal tersebut merupakan salah satu dari sekian pedoman yang sebenarnya harus ditaati dalam pelaksaanaan kehidupan sehari-hari bagi PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dikatakan bahwasanya perusahaan perasuransian wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Adapun prinsip good corporate governance tersebut meliputi transparasi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian dan kewajaran. Kemudian, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian kembali mempertegas aturan, yang mana dalam menginvestasikan kekayaan pemegang polis, tertanggung atau peserta perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajiblah menerapkan prinsip kehati-hatian dan kesesuaian antara kekayaan dan kewajiban.

Oleh karena itu, teka-teki mengenai siapakah dalang di balik semua ini kembali mencuat kepermukaan. Pasalnya sampai saat ini belum diketahui pasti, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab di dalam kasus yang cukup menyita perhatian publik. Jika, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan pemegang saham sebagai pihak yang bertanggung jawab atas gagal pembayaran uang pertanggungan kepada para nasabah maka, apabila pernyataan ini ditinjau dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwasanya, pemegang saham tidak bertanggungjawab sampai harta pribadi atas segala perikatan yang dibuat oleh perseroan maupun kerugian yang diderita oleh perseroan. Tanggung jawab pemegang saham hanyalah sebatas pada nilai nominal saham yang dimilikinya saja. Sehingga tanggung jawab penuh dibebankan kepada badan hukum, yaitu PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Namun, tanggung jawab terbatas pemegang saham ini dapat dihapuskan apabila terbukti terjadi hal-hal yang tertera dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni:

  1. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
  1. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
  2. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
  3. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Sehingga dapat disimpulkan apabila terbukti pemegang saham telah melakukan tindakan yang merugikan perseroan. Tidak menutup kemungkinan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Begitupun pula untuk Direksi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah mengamanatkan Direksi untuk melakukan pengurusan perseroan demi kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Sehingga, tidak menutup kemungkinan besar Direksi untuk bertanggung jawab di dalam kasus ini. Namun, apabila terlebih dahulu merujuk dalam Buku karya M. Yahya Harahap, S.H. tentang Hukum Perseroan Terbatas yang menyatakan, dasarnya apabila dalam menjalankan pengurusan perseroan Direksi telah melaksanakan dokrin business judgement risk (risiko pertimbangan bisnis), yakni Direksi benar-benar jujur dalam melaksanakan tanggung jawab pengurusan dan dibarengi dengan pertimbangan yang komprehensif secara wajar sesuai dengan pengalaman dan ilmu pengetahuan serta kelaziman praktik bisnis. Namun, ternyata pertimbangan tersebut keliru maka, apabila terjadi error judgement anggota Direksi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan pertimbangan yang dilakukan secara jujur. Akan tetapi, menurut Pasal 97 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas apabila terbukti Direksi telah terbukti melakukan kesalahan atau lalai dalam melaksanakan tugasnya baik secara pribadi atau bersama-sama maka, pembebanan tanggung jawab dapat diberikan kepada Direksi yang bersangkutan baik secara pribadi maupun tanggung renteng. Namun, perlu digaris bawahi bahwasanya tanggung jawab secara pribadi dapat dihapuskan apabila Direksi yang bersangkutan dapat membuktikan;

  1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  4. Telah mengambil tindakan untuk mencegahtimbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. (Pasal 97 Ayat 5 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)

Tak hanya Direksi saja, menurut pendapat penulis apabila Dewan Komisaris PT. Asuransi Jiwasraya diketahui telah lalai dalam menjalankan tugas pelaksanaan pengawasan terhadap kebijakan pengurusan perseroan yang dijalankan oleh Direksi dan kewajiban atas pertanggungjawaban pengawasan terhadap kebijakan pengurusan perseroan yang semata-mata untuk kepentingan Perseroan serta tugasnya dalam memberikan nasihat yang mengakibatkan PT. Asuransi Jiwasraya mengalami kerugian saat ini. Maka, sesuai dengan Pasal 114 Ayat 3 dan penjelasan dari pasal tersebut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris tetap ikut memikul beban tanggung jawab secara pribadi meskipun kerugian yang dialami oleh PT. Asuransi Jiwasraya ini dilakukan oleh Direksi. Dikarenakan, hal tersebut terjadi akibat kesalahan atau kelalaian pengawasan dari Dewan Komisaris. Namun, tanggung jawab ini juga dapat dihapuskan sesuai Pasal 114 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, apabila Dewan Direksi PT. Asuransi Jiwasraya dapat membuktikan, yakni:

  1. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  2. Tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
  3. Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Selain itu, apabila merujuk kembali pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ada pihak lain yang patut di duga dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Sebab, di dalam Pasal 15 menyebutkan bahwasanya pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang disebabkan oleh Pihak dalam pengendaliannya. Hingga dapat disimpulkan pengendali PT. Asuransi Jiwasraya pasti menjadi salah satu pihak yang harus dimintakan pertanggungjawabannya di dalam kasus ini. Adapun yang dimaksud Pengendali sesuai dengan Pasal 1 butir (28) dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah, ialah Pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

Kemudian muncul beberapa opini bahwasanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga haruslah bertanggungjawab, dugaan kelalaian dalam tugas pengawasan (yang sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan) atas manajemen investasi oleh PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) sebagai dasar untuk penyataan tersebut. Seharusnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mampu mengawasi kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) lebih ketat. Sehingga ketidakmampuan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) untuk membayarkan uang pertanggungan kepada nasabahpun tidak terjadi. Pasalnya tata kelola perusahaan Jiwasraya tidak bisa terlepas dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Adapun perkembangan kasus PT. Asuransi Jiwasraya, hingga saat ini baru 5 (lima) orang yang ditahan Kejaksaan Agung termasuk para mantan petinggi pada perusahaan asuransi jiwa tersebut, yakni Benny Tjokro (Komisaris PT Hanson), Hary Prasetyo (eks direktur keuangan PT. Asuransi Jiwasraya), Heru Hidayat (Presiden Komisaris PT. Tram), Hendrisman Rahim (eks Dirut PT. Asuransi Jiwasraya), Syahmirwan (eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya).

 

Oleh: Fira Nurul Jannati, S.H.

Admin/Uploader: Rudi Mulyana, S.H.

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.